Profil Tokoh DEPOK

Sunu Pramono Budi

Ir. H. Sunu Pramono Budi, MM

Hasprabu, singkatan dari Haji Sunu Pramono Budi. Seorang anak transmigran dari Lampung. Sekarang menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (DPP PATRI), periode 2004-2009. Saat ini tinggal di Kota Depok, sebagai peneliti pada Lembaga Kajian Pembangunan Daerah (LKPD) Kota Depok. Pendiri LSM Bina Sumberdaya Mitra (Bismi). Pernah menjadi Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Universitas Islam (Unisma) Bekasi (1998-2000). Mengelola blog: http://www.hasprabu.blogspot.com/

HASPRABU SI PATRI MINDED

Sumber: Sekretariat DPP PATRI, 28 Jul 2005

Suatu hari, tanggal 8 Juli 1972, seorang Purnawirawan Polri (Aiptu H.M. Sunaryo) bersama empat orang anak dan seorang istrinya meninggalkan Desa Tanggul Turus, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Tujuannya jelas. Ingin bertransmigrasi ke Proyek Permukiman Transmigrasi Polri (Transpolri) Jayaguna II, Desa Komering Putih, Gunung Sugih, Lampung Tengah.Setelah tiga hari dalam perjalanan, maka tanggal 11 Juli 1972 rombongan Transpolri Semeru I dari Polda (Dulu Komdak) Jawa Timur sampai di lokasi. Rumah-rumah bedeng berjajar rapih. Padang hijauan di pekarangan rumah bedeng demikian indahnya. Juga, bibir sumur dihalaman belakang, tertata baik. Diantara rombongan itu, ada satu anak kelas 6 dari SDN Tanggul Welahan, Besuki, Jawa Timur. Dia anak bungsu tujuh bersaudara dari Bapak H.M. Sunaryo, dan Ibu Kalimah binti M. Saleh. Anak kecil itulah yang 32 tahun kemudian menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (DPP PATRI). Dialah Hasprabu, yang lebih sepuluh tahun berjuang keras untuk mewujudkan cita-citannya, mempersatukan anak keturunan transmigran se-Indonesia. Dan organisasi itu ternyata baru dapat diwujudkan pada tanggal 16 Februari 2004 di Jakarta, dengan nama PATRI.Belakangan Hasprabu baru tahu. Ternyata yang padang hijau indah dipekarangan itu adalah padang ilalang. Bibir sumur yang terlihat rapihpun, ternyata hanya sedalam satu meter. Sehingga, disela-sela kelelahannya, keluarga H.M. Sunaryo membuat belik (sumur darurat) dipinggir sungai kecil, yang kebetulan dekat dengan unit permukiman baru itu.Kenangan dimasa kecil itulah yang selalu membayangi perjalanannya. Kehidupan dipermukiman baru, dengan lahan dua hektar yang masih berupa hutan sekunder. Setelah berisitirahat kurang seminggu, Hasprabu melanjutkan sekolah SD terdekat. Saat itu di Transpolri S.Dnya belum sampai kelas 6. Sehingga, Hasprabu bersekolah di SDN Haji Pemanggilan Padang Ratu. Jaraknya 8 km pulang pergi. Sedangkan kakaknya yang di SMP, sekolah di SMPN Gunung Sugih. Jaraknya 14 Km pulang pergi. Karena pada saat itu belum ada angkutan umum, maka anak-anak berangkat jalan kaki berombongan. Bulan Desember 1972 Hasprabu lulus SDN Haji Pemanggilan. Kemudian melanjutkan di SMPN Gunung Sugih (tammat tahun 1975). Tahun 1976-1978 sekolah di Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPP-SPMA) Propinsi Lampung di Haji Mena, Bandar Lampung. Kemudian, tahun 1979-1983 tamat dari Akademi Perkebunan Bandung (APB). Tahun 1984 – 1986 melanjutkan sarjana (S1) di Sekolah Tinggi Perkebunan (STIPER) Yogyakarta. Tahun 1994 – 1996 Hasprabu melanjutkan kuliah S2 (Pasca sarjana) di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) IPWI; bidang ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia.Sejak masih SD Hasprabu adalah sosok anak yang tak bisa diam. Diteladani oleh Ayahnya yang senang silaturahim, maka sejak SD dia sudah aktif menjadi anggota Pramuka (tingkat penggalang). Bahkan selama aktif kegiatan pramuka itu, dia paling sering menjadi komandan regu (DANRU). Maka, ketika ada waktu liburan sekolah dan diadakan camping (perkemahan), Hasprabu tak pernah absen dari kegiatan itu. Perkemahan tingkat gugus depan, kwartir cabang (Kabupaten), Kwartir Daerah (Kwarda), dan bahkan tingkat internasional (Perkemahan Wirakarya Asia Pasifik). Kegemaran camping ini terus berlangsung pada saat ia pindah di Lampung. Pada saat sekolah di SPMA, Hasprabu terpilih menjadi Ketua Dewan Kerja Penegak dan Pandega (DKC) Kwartir Cabang Lampung Selatan. Ketika tahun 1978 (bulan Juli) diadakan Perkemahan Penegak/Pandega se Kawasan Asia Pasifik di Malang, Hasprabu memimpin rombongan peserta dari Lampung Selatan. Demikian pula pada saat melanjutkan kuliah di Bandung. Ketika berangkat dari Lampung menuju Bandung, dia memakai seragam pramuka lengkap, sambil membawa koper besi. Dia merasa, dengan berpakaian pramuka akan lebih mudah mencari bantuan jika menghadapi kesulitan.Selama kuliah di Bandung, pertama-tama yang dicari adalah kantor Pramuka. Kebetulan kampusnya (APB) saat itu di jalan Taman Pramuka, dekat dengan kantor Kwartir Cabang Kota Bandung. Otomatis, dalam waktu singkat dia sudah punya banyak teman-teman di Bandung. Dan lagi-lagi, hobby campingnya “kambuh” lagi. Apalagi alam Parahiyangan seperempat abad yang lalu masih sejuk. Daerah-daerah perkebunan teh, seperti Sinumbra, Pangalengan, Ciwidey, Lembang, dan lain-lain adalah wilayah yang sangat berkesan baginya untuk berkemah. Kecintaannya kepada Tanah Air dan mencari kawan ini sangat subur terpupuk dalam kepramukaan ini.

Selama kuliah di Bandung, dan sampai menjelang melanjutkan kuliah di Yogyakarta (1979 – 1984), Hasprabu juga aktif bekerja sambilan. Hal ini dilakukan karena kiriman wessel dari kampung sering terlambat. Hasprabu juga menyadari bahwa memang penghasilan orang tuanya dan menunggu hasil panen juga tidak bisa dipastikan. Beberapa pengalaman yang berkesan diantaranya: pernah menjadi kenek angkutan umum jurusan Cicaheum – Ledeng, menjadi pelatih (pembina) pramuka di Gudep Telkom Pusat, guru les, membantu membuatkan skripsi kakak kelasnya, menjadi guru sekolah swasta, dan staf penyuluh pertanian kabupaten Bandung. Pengalaman menjadi Guru di beberapa SMA di Majalaya Bandung merupakan pengalaman yang berkesan. Awalnya agak canggung, tetapi karena dikejar kebutuhan (“bakat ku butuh”), Hasprabu menjalaninya dengan baik. Walaupun dia tidak mempunyai dasar pendidikan guru, tetapi jiwa “petualangan” dan senang bereksperimennya membuat dia disenangi murid-muridnya. Selain sebagai guru, dia juga pembina pramuka. Guru dan murid begitu dekat, dan sering berkemah bersama-sama dengan muridnya.

Dalam mengajar, dia lebih banyak menyerahkan kepada kesepakatan anak muridnya. Sebelum mengajar, Hasprabu mengajak diskusi dengan murid-muridnya. Metode belajar apa yang disukai muridnya itu? Kebanyak anak murid senang belajar yang banyak diskusinya dari pada mencatat di papan tulis, atau hanya mendengarkan guru bicara sendirian. Bahkan, ketika ulangan, soal-soalnya dibuat oleh anak-anak muridnya. Hasprabu akan memilih beberapa soal yang sesuai dengan kurikulum. Dengan cara ini, ternyata anak-anak menjadi giat belajar, dan senang berdiskusi. Itu dilakukan hingga Hasprabu ke Yogyakarta.

Hobby bersilaturahim dan berorganisasi ini terus dibawanya sewaktu melanjutkan S1 di Yogya (1984-1986). Lagi-lagi, tempat yang terlebih dahulu dicari adalah kantor organisasi. Tetapi, ketika melanjutkan S1 di Yogya, “warna dan alam” organisasi yang diminatinya sudah agak berbeda. Hasprabu mengambil kost di sekretariat HMI STIPER Yogyakarta. Selama di Yogyakarta, selain aktif di Komisariat HMI juga aktif ikut pendidikan kader muballigh di Masjid Syuhada Yogyakarta. Dia begitu terkesan dengan materi pelajaran tentang pemberdayaan ummat (masyarakat). Melalui Masjid Syuhada ini pula kemudian Hasprabu dapat mengenal lebih dekat dengan beberapa tokoh LSM, seperti Dawam Rahardjo, Habib Chirzin, Adi Sasono, dan lain-lain.

Seperti anak-anak transmigran yang lain, salah satu keunggulan psikologis anak transmigran adalah, bahwa sejak kecil mereka telah terbiasa hidup dalam suasana keprihatinan, kerja keras, dan hidup sederhana. Bahkan, dibeberapa tempat mungkin dibawah garis kemiskinan. Dengan bekal pengalaman hidup seperti itulah, ternyata menyebabkan anak-anak transmigran menunjukkan prestasi dikemudian hari. Jiwa keprihatinannya telah mendorong semangat untuk menyelesaikan masalah dengan mandiri. Karena terbatasnya kemampuan orang tua, maka sebagian besar anak-anak transmigran masa kecilnya minum ASI (Air Susu Ibu) murni. Mereka jarang minum susu kaleng. Selain karena tidak punya uang, juga dimasa itu toko-toko masih jarang dan tempatnya jauh. Namun, dampaknya menjadi positif. Karena dengan ASI anak-anak tumbuh lebih sehat. Menurut ahli gizi, memang ASI mempunyai banyak keunggulan. Misalnya, komposisinya gizinya sangat cocok dengan pertumbuhan anak-anak, tidak perlu mengisi ulang, tidak basi, kemasannya sangat menawan, walaupun dibawa bekerja tidak akan tumpah, dan secara fisik sangat cocok untuk anak semua umur. Sehingga wajar jika anak-anak transmigran ada yang menjadi Profesor (seperti Profesor Muhajir Utomo, Ketua Umum DPP PATRI), jadi dirjen, kapolda, walikota, dan lain-lain.

Setelah lulus dari STIPER Yogyakarta, Hasprabu kembali ke Bandung. Dia memilih kembali mengajar di SPMA Pemda Kabupaten Bandung. Di Bandung, sambil bekerja dia tinggal di sebuah pesantren di Lebak Biru, Ciparay. Kalau malam dia mengaji dengan santri dan juga murid-muridnya, sedangkan siangnya dia mengajar. Setelah hampir 11 tahun di Bandung, Hasprabu memutuskan untuk bergabung dengan sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di Jakarta (1990). Ketika di Jakarta inilah dia mulai banyak mendalami dunia NGO, dan bertemu dengan para tokohnya.

Embrio berdirinya PATRI antara lain dimulai ketika Hasprabu bersama beberapa tokoh LSM membentuk Forum Pembangunan Daerah melalui Transmigrasi (FORTRANS), tahun 1993. Ketika Menteri Transmigrasi dijabat oleh Siswono Yudohusodo, Departemen Transmigrasi mengajak beberapa LSM untuk membentuk forum mitra dialog. Beberapa aktivis dalam Fortrans diantaranya Prof. Dawam Rahardjo (Ketua Fortrans), Didik J Rachbini (LP3ES), Muchtar Abbas (YMU), Yuni Suwarto (Bina Desa), Oyo Zakaria (PPMA), Hasprabu (dari Bismi dan juga menjadi Sekretaris Fortrans), dan lain-lain. Dengan aktifnya di Fortrans tersebut, maka kecintaan dan ingin bersilaturahim dengan anak-anak transmigran se Indonesia semakin kuat. Maka, dalam beberapa kunjungan ke propinsi lain di luar Jawa, yang dia cari adalah informasi tentang anak transmigran yang barang kali sedang kuliah di ibu kota propinsi. Di Jakarta, dia membuat surat pembaca di harian Media Indonesia. Setelah dimuat, ternyata yang tertarik di Jakarta hanya 3 (tiga) orang. Sedangkan dari pihak Departemen Transmigrasi sendiri nampaknya kurang berminat mendukung hal itu.Tetapi, dengan segala kesabaran, ketabahan, dan ketekunannya, Hasprabu tidak kenal menyerah. Ketika suatu hari seorang anak transmigran dari Kalimantan Barat (Achmadi) datang ke Jakarta, dan mengajak melanjutkan mmbuat organisasi anak transmigran bersekala Nasional; serta merta disambut gembira. Achmadi adalah anak transmigran yang sepuluh tahun lalu masih kuliah di Tanjung Pura (Pontianak). Keinginan itu didiskusikan dengan Dirjen Pemberdayaan Sumberdaya Kawasan Transmigrasi. Alhamdulillah, keinginan itu disambut positif. Bahkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi saat itu (Jacob Nuwa Wea) juga sangat mendukung keinginan anak transmigran tersebut. Maka, dalam waktu yang sangat singkat, kurang dari seminggu, kedua orang ini bergerak. Tak lama kemudian, beberapa anak transmigran berbondong-bondong mendukung rencana itu. Mereka diantaranya Prof. Muhajir Utomo (Rektor Unila), H. Sarimun Hadisaputra (waktu itu Walikota Jakarta Barat), Sugiarto Sumas (Direktur Kimbal Ditjen Mobduk), dan lain-lain.Untuk memberi nama calon organisasi yang akan dibentukpun banyak pilihan. Ada yang mengusulkan Forum Anak Transmigran Indonesia, Himpunan Pemuda dan Pelajar Anak Transmigran Indonesia, dan lain-lain. Namun beberapa nama tersebut dianggap kurang pas dengan visi PATRI, yaitu: Kembalinya Gerakan Transmigrasi sebagai Perekat Nasional Lintas Agama, Suku, dan Budaya. Kata kunci transmigrasi adalah PEREKAT NASIONAL. Oleh karena itu Hasprabu mengusulkan nama organisasi tersebut adalah PATRI. Hal ini didasarkan pada pengertian, bahwa PATRI adalah sama dengan soder; yaitu perekat barang-barang logam. Dirjen Mobilitas Penduduk (Dra. Dyah Paramawartiningsih) ketika dimintai komentarnya menjelaskan, PATRI sangat pas dan sesuai untuk nama organisasi anak transmigran tersebut. Transmigrasi adalah salah satu alat perekat nasional. Oleh karena itu, maka nama PATRI sangat tepat. Dari kata PATRI tersebut kemudian dicari kepanjangannya. PATRI singkatan dari Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia. Hasprabu pula yang mengajukan usulan Logo PATRI yang dipakai hingga sekarang. Selain aktif di PATRI Hasprabu juga salah satu Ketua di DPP HMPTI (Himpunan Masyarakat Peduli Transmigrasi Indonesia), Wakil Ketua PEWARIS (Perhimpunan Warga Indonesia – Suriname), dan sejak tahun 1990 sebagai pendiri Yayasan Bina Sumber Daya Mitra (LSM Bismi); yang bergerak dalam bidang penguatan ekonomi masyarakat marginal. Organisasi lain yang diikuti Hasprabu diantaranya, Anggota Penasehat Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kota Depok (2004-2009), dan Dewan Penasehat Himpunan Kerukunan Tani (HKTI) Kota Depok. Pernah mengadakan studi banding Grameen Bank di Bangladesh, anggota delegasi ke Suriname (yang kemudian melahirkan PEWARIS), Direktur Pelaksana Badan Pengelola Padepokan Haji Masmun (2004-2007), pernah juga menjadi Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unisma Bekasi (1998-2000).Hasprabu nikah tahun 1986. Dalam kehidupan rumah tangga Hasprabu dikaruniai 5 (lima) orang anak. Yaitu: Nabilah Hanun Mujahidah, Harisudin Auzan Mujahid, Farisah Sabrina Mujahidah, Fitria Nurul Syahidah, dan Muhammad Atsani Salam. Pada saat ini, bersama istrinya Rini Silyanti, Hasprabu tinggal di Wisma Girli (Pinggir Kali), Cipayung Jaya, Kota Depok. Itulah Hasprabu, salah satu sosok anak Transmigran Republik Indonesia.Nama lengkap : Ir. H. Sunu Pramono Budi, MM (disingkat Hasprabu)Tempat & Tanggal Lahir : Tulungagung, 27 Desember 1960

Pendidikan:

  • Magister Manajemen, bidang ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia, dari STIE IPWI Jakarta (1996).
  • Sarjana Perkebunan dari Sekolah Tinggi Perkebunan (STIPER) Yogyakarta (1986

Jabatan di DPP PATRI:   Sekretaris Jenderal (periode 2004 – 2009)

Desember 2008

Wisata belanja di pasar tradisional

Oleh: H.S. Pramono Budi

Monitor Depok,  2 Desember 2008

Benar. Pasar tradisional yang berada di jantung Kota Depok itu memang fenomenal. Pasar itu begitu terkenal untuk kawasan Depok, dan bahkan diluar Jabodetabek. Biasanya pagi atau malam hari, saat RRI menginformasikan harga sembako dan sayur-sayuran; Pasar Kemiri Muka termasuk yang disebutkan namanya.

Ketika hujan tiba, jalanan disamping rel menjadi becek. Ibu-ibu yang berbelanja harus menggunakan sepatu boot. Setiap sepeda motor yang akan melintasi rel dari arah barat, dicegat beberapa pemuda: “Oom, jasa melintasnya”. Kita harus keluarkan uang Rp1.000 untuk mereka. Katanya mereka juga menyetor kedalam. Entah, siapa yang dimaksudkan. Belum lagi anak-anak yang setengah memaksa, menjual kantong plastik atau membawakan belanjaan.

Tradisional vs modern

Pasar Kemiri Muka hanya salah satu contoh dari pasar tradisional di Indonesia yang jumlahnya sekitar 13.450 unit, dengan sekitar 12,6 juta pedagang kecil (Kompas 2006). Berdasarkan hasil studi A.C. Nielsen pasar modern di Indonesia tumbuh 31,4% per tahun, sedangkan pasar tradisional menyusut 8% per tahun. Jika kondisi ini dibiarkan, ribuan bahkan jutaan pedagang kecil akan kehilangan mata pencahariannya.

Jika memperhatikan gambaran dan data di atas, sepertinya nasib pasar tradisional kita akan tamat. Banyak penelitian dilakukan untuk menelusuri jejak permasalahan pasar tradisional tersebut. Berdasarkan observasi lapangan, permasalahan disekitar pasar tradisional dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Pertama, infrastruktur pasar. Sebagian besar pasar tradisional kondisinya kumuh dan becek. Belum lagi tumpukan sampah yang tidak sempat diangkut. Tentu, ini sangat mengganggu pemandangan, kesehatan, maupun kenyamanan. Sepertinya pasar tradisional identik dengan kekumuhan. Padahal hal ini tidak seluruhnya benar.

Coba kalau kita bertandang ke Yogyakarta. Di jalan Malioboro ada pasar tradisional yang sangat terkenal, yaitu Pasar Bering Harjo. Pasar tradisional itu sangat nyaman. Bahkan, wisatawan asing dengan santai dan tanpa canggung minum dawet (cendol) yang ada di komplek pasar. Pasarnya tertata rapih. Baik pedagang maupun petugas pasar disiplin menjalankan profesinya. Pasar itu juga masuk dalam situs pasar tujuan wisata.

Di Depok, tangga penghubung yang ada di Pasar Baru Nusantara Raya. Tangganya tidak curam, sehingga kios dilantai atas selalu ramai dikunjungi calon pembeli. Bahkan, karena halaman parkirnya cukup luas, di malam minggu sering menjadi tempat jualan makanan kemilan hingga larut malam.

Kedua, adanya PKL yang ada diluar kios. Banyak pedagang di dalam kios mengeluhkan hal ini. Mobilitas para PKL sangat tinggi. Hanya berbekal lapak yang dapat didorong, dipikul, atau dijinjing, mereka menempati pintu masuk pasar. Terkadang PKL menjual jenis dagangan yang sama dengan pedagang resmi di dalam pasar. Sehingga, sebelum pembeli masuk ke dalam kios yang becek, PKL sudah mencegatnya diluar. Tentu saja, pedagang yang ada di dalam pasar tidak mendapatkan pembeli lagi.

Ketiga, manajemen pasar. Pedagang pasar mengeluhkan ketidakadilan ini. Kesan yang ada, retribusi terus ditarik, tetapi kualitas lingkungan pasar tidak ditingkatkan. Pengelola pasar tidak ada inovasi atau inisiatif agar pembeli nyaman. Bahkan membiarkan maraknya pedagang liar yang menjadi pesaing pedagang resmi.

Dengan mencermati hal-hal diatas, hal yang perlu segera dibenahi yaitu: Penataan lingkungan pasar, kebersihan. penataan fisik bangunan, khususnya tangga naik dan kios dibagian atas. Selain itu tempat parkir serta parkir liar, penataan pedagang kaki lima di luar kios dan preman. Selain dibenahi secara berkala perlu diadakan lomba kebersihan pasar.

Walaupun data menunjukkan pasar tradisional menyusut jumlahnya, tetapi pengembangan pasar tradisional tidak boleh kendor. Karena pasar tradisional mempunyai segmen dan pencintanya sendiri. Tetapi segmentasi pasar bisa dikelola melalui penyempurnaan sistem. Kelebihan pasar modern yang paling nyata adalah: tempatnya nyaman (berpendingin udara), harga sudah pasti, bebas dari gangguan preman, dan tempat parkir luas. Untuk semua kenyamanan tersebut tentu saja harga di pasar modern lebih mahal.

Sedangkan kelebihan pasar tradisional diantaranya harga dapat ditawar (ini merupakan kepuasan tersendiri bagi ibu-ibu yang biasa berbelanja). Dalam hal kelengkapan barang dagangan, sebagian besar pasar tradisional sudah tersedia. Sejak dari bumbu dapur, sayuran, sembako, jamu, hingga kemenyan dan bunga-bunga keperluan ziarah ke makam. Hal ini jarang dijumpai di pasar modern.

Tetapi saat ini beberapa pasar modern juga menyediakan konter khusus dagangan yang bisa ditawar seperti di pasar tradisional. Bahkan dengan sistem manajemen yang telah bagus, pengelola hipermarket atau supermarket bekerjasama dengan pemasok. Dengan menjalin kontrak jangka panjang, standar harga, jumlah pasokan, dan kualitas barang relatif terjamin. Sehingga dalam beberapa kasus, harga barang di pasar modern lebih murah dibanding dipasar tradisional, karena stok barang yang selalu tersedia tersebut. Ini tantangan bagi pengelola pasar tradisional.

Jika membandingkan Pasar Bering Harjo dan Pasar Kemiri Muka, pertanyaan selanjutnya: Akankah di Depok ada pasar tradisional yang layak untuk tujuan wisata belanja?

November 2008

Ada Apa dengan LSM…?

Oleh: H.S.Pramono Budi (Dimuat di Koran Monde, tanggal 19 November 2008/hal.6)

LSM adalah organisasi sosial yang dibentuk oleh kelompok masyarakat. Ada yang menyebutnya CSO (Civil Society Organisation), atau NGO (Non Government Organisation) singkatan dari Lembaga Swadaya Masyarakat,. Tapi LSM bukan Ormas (Organisasi Massa). Pada umumnya badan hukum LSM adalah yayasan. Walaupun sama-sama yayasan, cara kerja LSM berbeda dengan yayasan Non LSM.

Biasanya Yayasan Non LSM bekerja dalam lingkup sosial, budaya, atau keagamaan. Misal, yayasan yang menangani anak yatim, praktek khitan, yayasan penampung amal, keagamaan tertentu, atau yayasan yang menghimpun kelompok etnik tertentu, itu bukan LSM. Barangkali lebih tepat mereka sebagai organisasi sosial (ORSOS).

Dimasa Orba, Pemerintah sangat represif dan protektif terhadap LSM. Segala sesuatunya diatur dengan ketat. Sehingga aktivitas LSM dimasa lalu sangat berbeda dengan diera Reformasi.

Mengapa LSM ada? Paling tidak ada beberapa alasan. Pertama, karena pemerintah tidak mampu memenuhi keinginan masyarakat dalam memperjuangkan haknya. Kedua, masyarakat merasa kecewa dengan partai politik maupun legislatif, karena tidak dapat menyerap dan mewujudkan aspirasi kelompok akar rumput. Ketiga, terbukanya keran demokrasi yang sangat luas, sehingga ekspresi masyarakat “bagaimanapun” tidak terkendala peraturan seperti dimasa Orba dulu. Keempat, persyaratan membuat LSM sedemikian mudahnya. Bahkan tanpa akte notaris dan papan namapun bisa. Yang penting cukup kartu nama, spanduk, dan masuk media massa.

Ruh LSM
Ada yang beda antara LSM dimasa dulu dengan sekarang. Inti ruh LSM sebenarnya ada empat, yaitu: Independen, Egaliter, Non Partisan, dan Non Sektarian. Misinya adalah membuat masyarakat sadar secara cerdas, kritis, berani menyuarakan aspirasinya. Harapannya adalah agar pemerintah memberikan pelayanan kepada rakyat secara transparan, akuntabel, dan non diskriminasi. Itulah inti pemberdayaan masyarakat yang diperjuangkan LSM. Mencakup pemberdayaan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Aktivitasnya bisa dilakukan melalui pendampingan ekonomi, advokasi, publikasi hasil riset.

Untuk itu, maka lahir tipologi LSM berdasarkan kecenderungan situasi. Tetapi, dimasa kini ruh LSM lebih banyak terkontaminasi dengan kepentingan sesaat. LSM terkontaminasi kepentingan pribadi, kepentingan politik, kepentingan sekte, dan lain-lain. Beberapa peristiwa diantaranya; calon yang kalah dalam pilkada membentuk LSM untuk melakukan demo ke KPU. Atau partai tertentu membentuk LSM mengadakan demo tandingan terhadap lawannya. Kelompok preman yang terdesak oleh Polisi membentuk forum LSM dan mengadakan perlawanan. Dalam situasi ekonomi sulit, dan efek histeria psikologi massa, maka kelompok akar rumput yang awam menjadi sasaran empuk. Mereka, hanya dengan uang lelah Rp 20.000,- berani berkorban untuk kepentingan yang kadang tidak dimengerti.

Secara umum tipologi LSM diantaranya: Pertama, kelompok penekan (pressure group). Ini jenis LSM yang jumlahnya banyak, dan sangat mudah terkontaminasi politik. Mereka melakukan aktivitas melalui demo, pernyataan di media, dan tindakan untuk menekan kebijakan tertentu (pemerintah). LSM seperti ini sangat tergantung oleh figuritas personal (ketuanya). Karena itu, aktivitas dan usianya biasanya tidak lama. Jika ketuanya tidak aktif, maka LSMnya ikut mati. Karena belum terbangun sistemnya.

Kedua; LSM Advokasi. Melakukan pendampingan kepada warga yang tersisih dari perhatian normatif pemerintah, misalnya dalam hal pertanahan. Juga, melakukan advokasi terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat. Misalnya, kenaikan harga, penggusuran lahan, memantau produk makanan kedaluwarsa, dan lainnya.

Ketiga, Riset dan Publikasi. Mereka melakukan kajian-kajian, mengadakan seminar, membentuk opini, dan menerbitkan buku-buku hasil riset. LSM seperti ini jumlahnya sangat terbatas, karena memerlukan sumber daya yang memenuhi kualifikasi tertentu. Jenis riset LSM seperti ini berbeda dengan kelompok akademis (kampus). Metodenya lebih banyak partisipatif, kurang menggunakan parameter statistik, dan lebih banyak investigatif. Biasanya mengambil obyek yang spesifik. Misalnya, kajian terhadap penculikan, kerusuhan rasial, penyelewengan dana pendidikan luar sekolah, utang luar negeri, penyaluran beras untuk orang miskin (Raskin), penyaluran dana BOS, dan lain-lain. Masalah yang dibidik terkait dengan grass root, dan biasanya menghasilkan karya ilmiah yang jarang dibidik kelompok peneliti akademisi.

Keempat, Pemberdayaan kebutuhan dasar, seperti penguatan ekonomi. LSM seperti ini jumlahnya tidak terlalu banyak. Kelompok ini biasanya telah berdiri dimasa Orba. Karena pada saat itu pemerintah sangat alergi terhadap kritik, maka para pegiat LSM melakukan misinya dengan tema penguatan ekonomi, sosial, dan budaya (EKOSOB).

Bagaimana Depok?
Jumlah LSM di Kota Depok saat ini sekitar 182 lembaga (Oktober, 2008). Depok adalah kota kecil multi etnik. Dinamika politiknya sangat tinggi. Di Kota Depok bermukim para petinggi partai, legislatif, artis, dan apapun yang berskala nasional. Ada pula para pemulung, tuna wisma, dan kawasan kumuh seperti sekitar Setu Lio. Jadi, di Depok heterogenitasnya sangat tinggi. Ini merupakan lahan subur berbagai kreatifitas, baik yang positif maupun negatif. Oleh karena itu sangat wajar jika di Depok berkembang LSM berbagai tipologi itu, terutama LSM Pressure Group. Biarkan saja, nanti akan terjadi polarisasi dan menemukan kutubnya sendiri. Karena dalam dinamika yang high speed seperti ini semua kepentingan menjadi sangat sensitif. Atas nama kepentingan kaum tertindas, semuanya menjadi arogan dan berani mati.

Bersama dengan perjalanan waktu, suatu saat akan terjadi harmonisasi peran. Pemerintah yang ingin legitimasinya stabil, akan menjadi sensitif dengan kepentingan warga yang telah menggajinya. Dengan demikian, pelayanan publik menjadi program dan isu utama. LSM, yang menginginkan masyarakat berdaya, akan secara terbuka bekerjasama dengan pemerintah, tanpa berburuk sangka. Pengusaha, yang ingin mendapatkan laba sebesar-besarnya, kian responsif dan tidak sulit mengedepankan kepedulian sosialnya (community social responsibility). Demikian pula Partai politik, yang menginginkan kekuasaan lebih lama, tidak akan mengorbankan massa pendukungnya demi kepentingan menjelang Pemilu.

Sebaiknya LSM kembali kepada khittahnya. Apalagi tahun depan kita pesta demokrasi nasional (Pemilu 2009). Masih ada waktu membuat warga cerdas, pemerintah sensitif, dan politikus mengerti hati nurani yang diwakilinya. Ingat! Jangan ada dusta diantara kita. (Penulis adalah Peneliti pada Lembaga Kajian Pembangunan Daerah – LKPD, Kota Depok).

Setahun Deklarasi RW Siaga: Apa Hasilnya..?

Oleh: H.S. Pramono Budi (Dimuat diharian Monitor Depok tanggal 14 November 2008)

Masih ingat bocah Aco yang meninggal di Makassar karena kelaparan? Atau masih ingat Wahyu Saputra (6), bocah Gang Nyamuk Cagar Alam? Saat Idhul Fitri (2008) dia tewas akibat gizi buruk (Monde, 7/9/08). Segera saja media menuduh, apa saja peran RW Siaga?. Hal itu bisa dipahami, karena pengurus RW dan RT lah yang paling tahu kondisi warganya. Kejadian itu menggambarkan, betapa pentingnya meningkatkan kapasitas relawan RW Siaga ditingkat lapangan.

Pada era Orba, waktu Rudini menjadi Menteri Dalam Negeri, kita pernah punya program Dasa Wisma. Para kadernya secara intensif, dari pintu kepintu mendata penduduk yang punya bayi belum diimunisasi dan lain-lain. Sekaligus mendata untuk kepentingan Partai berkuasa saat itu. Hasilnya memang efektif. Program imunisasi sukses, program KB sukses (bahkan dapat penghargaan), dan Golkar juga kian kuat.

Tampaknya sederhana. Tapi jika dioptimalkan, aktivitas RW Siaga saat ini bisa mendorong mereduksi permasalahan yang dihadapi kelompok akar rumput. Merujuk kesepakatan Millenium Development Goals (MDGs) dan hasil KTT ASEM (Asian Euopa Meeting) tanggal 24-25 Oktober di Beijing, ada tiga masalah utama yang relevan di Indonesia, khususnya di Depok. Ketiga hal tersebut diantaranya: kemiskinan, kesehatan, dan lingkungan hidup. Depok sebagai bagian dari warga kota di Asia sangat berkepentingan dengan ketiga hal tersebut. Karena hal itu bagian dari program pembangunan yang berkelanjutan.

Sebagaimana diketahui, untuk menentukan bahwa RW Siaga masuk kualifikasi baik (pratama, madya, dan purnama) ada 8 indikator, yaitu: (1) Ada forum masyarakat sebagai wadah mendiskusikan masalah kesehatan, (2) Kerjasama dengan fasilitas kesehatan dan pelayanan dasar, (3) Upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM), (4) Bersifat pengamatan terhadap gejala wabah penyakit, (5) Kegawat daruratan dan bencana, (6) Lingkungan sehat dengan membiasakan gerakan kebersihan, (7) PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) – lingkungan hidup punya pengaruh 45% terhadap kesehatan, 30% dari perilaku, dan pelayanan kesehatan 20%, dan (8) Kadarsi (keluarga sadar gizi).

Berdasarkan hasil survey yang dilaksanakan LKPD bersama Depok Post (November 2008), sebagian besar masyarakat (73%) sudah tahu tentang program ini. Tetapi yang merasakan manfaat dari RW Siaga 35 %, sisanya (65%) tidak. Dalam hal kemanfaatan, didapat data sebagai berikut: sangat bermanfaat (10%), bermanfaat (35%), tidak tahu (35%), biasa saja (18%), dan kurang bermanfaat (1%).

Dengan menyimak data di atas, banyak hal yang harus dilakukan untuk mengoptimalkan RW Siaga. Berdasarkan pantauan di lapangan, permasalahan RW Siaga yaitu: Kurangnya kesadaran warga masyarakat terhadap persoalan sekitarnya. Ini juga diakui para pegiat dilapangan. Barangkali permasalahan ekonomi, seperti kenaikan harga-harga, sebagai salah satu penyebabnya. Dalam suasana hidup cenderung miskin, masyarakat sibuk dengan dirinya sendiri. Sosialisasi juga dirasakan masih kurang. Sehingga wajar jika walaupun masyarakat tahu tentang RW Siaga (73%), yang merasakan manfaat maupun yang sama sekali tidak tahu mencapai 35%.

Masih banyak hal untuk membenahi RW Siaga. Para pegiat misalnya mengusulkan agar ditingkatkan penguatan kapasitas kader lapangan berupa latihan-latihan. Ada pula yang mengusulkan supaya dana Raskin dikelola secara dana bergulir (revolving fund). Ada baiknya mengkaji pengalaman Kabupaten Bekasi. Awal tahun 2000-an pernah melakukan program Revitalisasi Posyandu melalui dana bergulir pola Grameen Bank, bekerjasama dengan LSM Bismi. Ide dasarnya, bagaimana agar dana habis pakai untuk kegiatan Posyandu bisa lebih berkelanjutan. Ternyata, kader-kader Posyandu yang mempunyai insting bisnis dapat memanfaatkan dana itu untuk usaha bersama. Keuntungan dari usaha itu kemudian dibelikan susu, obat-obatan, dan makanan bergizi lainnya. Sehingga, dana yang seharusnya habis terpakai dalam tahun anggaran itu dapat bertahan lebih lama dan aktivitas Posyandu kian meningkat pula.

Dalam hal program kerja, perlu juga meningkatkan pencegahan penyakit melalui penggunaan obat-obatan herba. Semua orang tahu, bahwa obat-obatan kimia mempunyai efek residual yang dapat merusak organ tubuh. Sehingga, tanpa disadari mereka yang berobat menggunakan bahan kimia cenderung rentan terhadap penyakit. Saat ini di Kota Depok sudah berkembang pengobatan yang dikenal sebagai Thibbun Nabawi (pengobatan cara nabi). Dengan obat yang murah dan mudah didapat, diantaranya jintan hitam (habba sauda) dan bekam, ternyata sangat efektif meningkatkan kekebalan tubuh. Karena itu ada baiknya program pengobatan herba ini menjadi bagian dari kegiatan RW Siaga.

Sejak RW Siaga dideklarasikan di Depok (13/11/2007), hingga saat ini sudah ada 829 RW Siaga. Saat itu, Menteri Kesehatan Siti Fadhillah Supari mengatakan: “ Kota Depok saat ini telah berkembang menjadi kota sehat, dan menjadi kota dengan angka kematian bayi terendah di Indonesia, yakni rata-rata 3,9 per 1.000 kelahiran hidup.” Padahal secara nasional angka kematian bayi masih sekitar 30 per 1.000 kelahiran hidup. Demikian pula, kematian ibu di Depok adalah 68 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara itu ditingkat nasional angka kematian ibu melahirkan di atas 300 per 100.000 kelahiran hidup.

Fakta itu semakin membuat kita optimis, bahwa RW Siaga di Kota Depok sesungguhnya masih dapat dioptimalkan. Hal itu sesuai dengan harapan Walikota Depok Nurmahmudi Ismail pada saat Deklarasi RW Siaga. Deklarasi RW Siaga diharapkan dapat mendorong upaya mencapai target angka IPM 80 Kota Depok pada tahun 2010. Seperti diketahui, saat ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Depok adalah 77,81. Angka tersebut sudah merupakan angka IPM tertinggi untuk tingkat Jawa Barat. Tetapi secara nasional, IPM tertinggi dicapai masing-masing oleh DKI Jakarta, DIY, dan Depok (ketiga).

Bulan ini tepat setahun sejak RW Siaga dideklarasikan. Sejauhmana pencapaian RW Siaga sudah dibuktikan?. Berbekal dengan 8 (delapan) indikator keberhasilan RW Siaga tersebut, maka ada baiknya saat ini para pegiat RW Siaga melakukan kajian ulang. Agar kemanfaatan adanya RW Siaga benar-benar dirasakan masyarakat kelas bawah. Apalagi saat ini, ketika perekonomian belum membaik, dan perubahan iklim makin terasa. Dampak perubahan iklim akibat pemanasan global diantaranya makin meningkatnya aktivitas penyakit, terutama malaria. Selain itu, bagi masyakarat yang kekurangan makanan bergizi, maka akan menyebabkan rentannya ketahanan tubuh. Akibatnya, masyarakat miskin semakin terpuruk. Sudahlah menderita karena miskin, terkena penyakit pula. Jika hal itu terjadi, maka harapan Walikota untuk mencapai angka IPM 80 bakal terhambat. Karena itu, hanya satu kata: Secepatnya, kita semua bertindak!! (Penulis adalah Peneliti pada Lembaga Kajian Pembangunan Daerah – LKPD, Kota Depok).

Setahun LKPD, harus tetap Kritis dan analitis

Oleh: Abi Finusya (Dimuat pada koran Monitor Depok tanggal: 11 November 2008)

Bertepatan dengan hari Pahlawan 2008, Lembaga Kajian Pembangunan Daerah (LKPD) genap satu tahun. Teramat dini untuk menilai prestasi dan keberlanjutannya. Tetapi, untuk menjadi LKPD seperti saat ini bukan garapan sebulan dua bulan. Karena jauh sebelum dilembagakan, Lembaga Kajian Pembangunan Daerah ini telah hadir dalam forum-forum diskusi. Pada awalnya Lembaga Kajian Pembangunan Daerah – LKPD (Institute for Regional Development Studies – IRDeS) yang dideklarasikan tanggal 10 November 2007 merupakan forum diskusi bulanan dengan nama Forum Majelis Ilmu. Forum yang digagas oleh Dr. Prihandoko (Dosen Universitas Gunadarma) merupakan tempat berkumpulnya warga Kota Depok lintas budaya, lintas profesi, dan lintas partai.

Dalam forum diskusi berseri ini dibahas berbagai masalah aktual dengan mengundang para pakar. Kemudian dikritisi bersama, untuk dipublikasikan atau disampaikan kepada lembaga terkait, khususnya Pemerintah Kota Depok. Secara kebetulan diskusi yang berkembang selama ini berisi tentang tuntutan masyarakat terhadap proses pembangunan dan pelayanan pemerintah yang baik terhadap publik. Beberapa tema yang pernah dibahas diantaranya: Kerusakan jalan, kemiskinan, pendidikan yang murah, ekonomi kerakyatan, dan pelayanan publik.

Beberapa tokoh yang turut hadir sebagai nara sumber maupun peserta aktif sejak sebelum LKPD maupun setelah menjadi LKPD diantaranya: Walikota dan Wakil Walikota Depok, KH. Dimyati (Ketua MUI Kota Depok), KH. Burhanudin Marzuki (Pimpinan Ponpes Qotrunnada), Kapolres Kota Depok, Dandim, KH. Achmad Nawawi (Sekum MUI Depok), Dr. Kholil (Dosen Universitas Sahid), Masdun Pranoto (Wartawan Senior), H.S. Pramono Budi (Pendiri LSM Bismi), H.U. Suryadi (Tokoh Masyarakat Kukusan), Prof. Dr. Eko Prasodjo (Fisip UI), Bupati Sragen (Untung Wiyono), Gubernur Jawa Barat (H. Achmad Heryawan), dan masih banyak lagi.

Setelah setahun berjalan, pada pertemuan berikutnya ada usulan dari peserta (Hasprabu), agar Forum yang dinamis ini dilembagakan. Maksudnya agar gagasan dan rekomendasi yang dihasilkan dari forum ini dapat dikaji lebih lanjut. Atau paling tidak, pihak instansi terkait mempunyai mitra kelembagaan yang dapat membantu implementasi solutif secara partisipatif. Tampaknya gagasan ini disetujui banyak peserta. Sehingga dalam pertemuan berikutnya Panitia membuat formulir yang berisi data pribadi dan minat permasalahan.

Berdasarkan formulir yang masuk, maka disusunlah klasifikasi calon pengurus berdasarkan minat dan permasalahan aktual, sebagai berikut:
o Pokja Ekonomi & Pembangunan, Koordinator Andi Estetiono (BMT Berkah Madani) dan Drs. Mukhlas (PKPU Al Busyro)
o Pokja Sosial & Kemasyarakatan, Koordinator Dr. Mashadi Said (Dosen), dan Sri Rahayu (aktivis perempuan)
o Pokja Pelayanan Publik, Koordinator Ir.H.S. Pramono Budi, MM (LSM Bismi), Masdun Pranoto (Wartawan)
o Pokja Media & Informasi , Koordinator Drs. Darmin Pella (Konsultan), Teo Yusuf, SH, MH (Pengacara), Haryo Setyoko (Pengusaha).

Sebelum tanggal 10 November 2008, namanya Lembaga Kajian Pembangunan Kota Depok (LKPKD) yang diketuai Dr. Ir. Kholil, M.Kom. Namun, dalam perkembangan berikutnya, nama LKPKD (ada kata Kota Depok) dirasa terlalu sempit. Karena pada saat yang bersamaan ada gagasan agar lembaga ini dapat membuka link diluar Depok. Sehingga diharapkan lembaga ini bisa menjadi pusat kajian lintas daerah. Bahkan ada keinginan kelompok profesional dari Kabupaten Bekasi yang ingin membuka cabang LKPD di Bekasi. Akhirnya, bersamaan dengan Talkshow tanggal 12 Juli 2008, diresmikan berdirinya LKPD Bekasi.

Dalam rangka setahun LKPD, pesan dan harapan yang patut dicatat oleh LKPD adalah: Pertama, LKPD hendaknya konsisten sebagai lembaga yang kritis. Seperti pada saat talkshow kedua, LKPD mengkritisi kinerja dua tahun pemerintahan Walikota Nurmahmudi Ismail dalam penanggulangan kemiskinan. Dengan kajian kritis tersebut, maka isu miring yang mengatakan LKPD sebagai onderbow parpol tertentu tidak beralasan.

Kedua, sebagaimana disampaikan Gubernur Jabar pada saat acara majelis ilmu (19 Oktober 2008), LKPD jangan hanya sebagai lembaga kajian (studies), tapi juga dapat memberi solusi dan menerapkan hasil kajiannya. Artinya, LKPD tidak hanya sekedar kritis dan analitis, tetapi juga mampu untuk memberikan solusi atas permasalahan daerah (aplikatif).

Ketiga, LKPD hendaknya bermitra dengan lintas sektor, lintas pelaku, dan multi stake holder di Kota Depok secara profesional. Persoalan pembangunan di Kota Depok tidak cukup diatasi secara program rutin. Biasanya, perencanaan pembangunan yang tidak dikaji secara holistik dan hanya ditangani secara rutinitas cenderung menjadi masalah baru. Karena itu perlu adanya terobosan dan inovasi yang sedikit “radikal” atau “liar”. Dalam arti, rekomendasi hasil kajian jangan yang bersifat normatif, tetapi mampu mengungkit permasalahan yang mendasar. Sebagai contoh, mengatasi masalah jangan hanya dilihat dari aspek ekses, tetapi lebih penting adalah mencari akar penyebabnya.

Namun demikian, kiprah LKPD dapat terbukti jika semua pihak juga membuka diri untuk bekerja sama. Tanpa itu, mustahil pesan Gubernur Jabar dapat dilaksanakan. Dirgahayu LKPD, jaga khittahmu, agar motomu: Membangun Daerah Bersama Masyarakat dapat terwujud (Penulis: Abi Finusya, pengamat sosial, tinggal di Cipayung Jaya Depok).

KEMANA PATRI AKAN MENUJU???

Sebuah Catatan Anak Transmigran – Hasprabu

Saudaraku Kader PATRI

Sebelum adanya organisasi Perhimpunanan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI), kita sesama warga transmigran tidak saling kenal mengenal. Mungkin yang mengenal hanya sebagian kecil sesama transmigran teladan yang diundang ke Jakarta (di Depnakertrans Kalibata dan Istana Negara). Yang lainnya, tidak pernah tahu, bagaimana nasib diantara kita. Saat ketika kita belum membuat Perhimpunanan (PATRI), sebenarnya cukup mengenakkan kalau kita menjadi warga yang tertutup. Berada di lingkungan yang nyaman, relatif homogen secara terus menerus, anak-anak bisa sekolah, makanan cukup, punya kebun yang sudah siap panen, disebuah perkampungan terpencil, jauh dari hiruk pikuk politik, dan lingkungan yang memberikan kenyamanan yang luar biasa. Sedangkan bagi wilayah permukiman yang bermasalah, kita juga tidak dikenal. Apakah anak kita kelaparan, apakah tanaman kita tidak bisa tumbuh, apakah air yang kita minum bersih, sehat… dan sebagainya. Kemana akan mengadukan semuanya dimasa itu?? Tiap lima tahun datang orang-orang baik ke desa kita, membawa kaos berlambang partai, membagikan sembako, ada sunatan massal, dan tontonan gratis. Mereka semua hanya minta kepada kita, pilihlah “saya” atau partai saya. Hanya itu??? Waktu kita membuat Perhimpunan, seakan-seakan kita keluar dari situasi nyaman. Karena, diluar sana banyak orang yang menjadi tahu. Siapa kita sebenarnya. Demikian pula, cacat-cacat kita, borok-borok kita, harapan-harapan, semuanya menjadi terbuka. Dengan keterbukaan itu, dilokasi kita yang kondisinya baik, banyak orang lain datang. Mereka memborong lahan-lahan sawit dan tanah kita yang subur.

Sedangkan ditempat kita yang bermasalah, orang-orang mulai empaty, simpati, atau sekedar mencibir nasib kita. Ruang pergaulan kita menjadi sangat luas. Kondisi buruk dan baik, semuanya menjadi terbuka. Sekarang kita bertemu dengan keadaan yang sangat terbuka. Situasi itu bisa membuat kita tidak nyaman secara psikologis, atau bahkan menikmatinya.

Kader PATRI

Lahirnya PATRI mau tidak mau membuat kita terjun dalam kancah realitas politik. Walaupun kita bukan partai politik, tetapi secara orang perorang kita punya hak berpolitik. Hak dipilih dan memilih dalam Pemilu, baik pemilihan presiden, gubernur, bupati, walikota, maupun legislatif tingkat pusat hingga daerah. Tentu saja, ketika kita ingin dipilih, kita mengikuti aturan main, yaitu menggunakan “kendaraan” partai politik atau calon independen. Jadual suksesi berupa pemilihan umum 5 tahunan itu sangat menentukan kelangsungan bangsa dan negara, termasuk di dalamnya warga PATRI. Kita memang terlahir bukan dari para orang tua aktivis gerakan. Sebagian besar orang tua dan nenek moyang kita dulu adalah berprofesi petani dan buruh kecil. Sebagian ada guru, pensiunan TNI/POLRI, pedagang, dan kaum marginal. Dulu, barangkali cita-cita orang tua kita relatif sama. Bertani, punya lahan luas, anak-anak dan keluarga cukup makan. Itu saja. Karena cita-citanya itu pula yang membuat orang tua kita harus kerja keras, tahan lapar, hidup penuh keprihatinan, bermandi peluh, dan situasi hidup yang berat. Bahkan, dimasa paceklik, kita sudah terbiasa makan gaplek, oyek, bulgur, gembili, dan makanan hasil hutan.

Apa boleh buat, era kini dan kedepan hanya kekuasaanlah yang bisa merubah “nasib” kaum kita. Kita mendambakan sekolah murah atau gratis di daerah-daerah terpencil. Kita ingin jalan penghubung untuk menjual hasil bumi bagus. Kita ingin ada puskesmas yang memadai, dan lain-lain kebutuhan standar hidup minimum. Kita tidak ingin hanya dijadikan obyek proyek-proyek oknum tertentu. Tetapi, nyatanya mekanisme perubahan hidup kita sangat ditentukan oleh siklus lima tahunan itu dan wakil-wakil “rakyat” yang simpati dengan kita. Perjalanan kolonisasi sudah lebih satu abad. Kondisi perkembangan psikologis saudara kita di eks kolonisasi memang berbeda dengan di eks unit permukiman transmigrasi. Di daerah eks kolonisasi seperti Lampung, mereka semua merupakan generasi kedua dan seterusnya. Kisah heroik nenek moyangnya diperoleh dari cerita bersambung dari generasi sebelumnya, seperti “tutur tinular”.
Di lokasi yang baru dibuka setelah era kemerdekaan, mereka sangat tahu dan mengalami sendiri bagaimana para orang tuannya bertahan dari kondisi alam yang sulit. Tetapi, mereka semua mempunyai naluri yang sulit dibedakan, yaitu naluri keprihatinan, naluri pekerja keras, dan naluri “senasib sepenanggungan”. Saya juga belum mengkajinya secara khusus, apakah naluri-naluri “terbiasa prihatin” itu bagian sifat yang diturunkan (genetis)? Karena pengalaman selama ini, dimanapun bertemu dengan kader PATRI, saat berbicara pernah makan gaplek, oyek, bulgur, atau lain- lain; mereka semuanya cepat “connect”. Sepertinya rasa senasib sepenanggungan itu menjadi kata kunci atau semacam pass word. Dengan kata itu kita segera menjadi akrab, dan seperti saudara yang pernah hilang bertemu kembali. Nah, kita ingat saudara kita yang lain. Ingat saudara kita eks repatrian Suriname, eks Romusha, dan lain-lain? Bagaimana perkembangan warga kita saat ini, setelah sekian lama bekerja keras membangun dan mempersatukan anak negeri? Kita memang bukan keturunan para pemimpin, dan sepertinya tidak disiapkan untuk menjadi pemimpin. Tetapi kita punya hak penuh menjadi pemimpin.

Kader PATRI,

Kita pernah belajar sejarah. Bagaimana dulu bapak bangsa bekerja keras merintis pembebasan negeri ini dari penjajahan. Dilapisan elit, ada Budi Utomo, ada
Kebangkitan Nasional, Ada Soempah Pemoeda, ada partai-partai, perkumpulan, perhimpunan, dan lain-lain. Sementara itu para petani miskin, kaum jelata, dan buruh kasar, mereka sudah menyerahkan nasibnya. Pasrah bongkokan. Awalnya mereka merasa nyaman dengan kondisi terjajah atau dijajah. Karena memang demimkianlah mereka memahami jalan hidup kaum tertindas. Biasanya ada dampak psikologis tertentu. Orang yang tidak suka dengan penjajahan, tetapi karena sepanjang hayatnya terus dijajah, maka mereka mengalami kenyamanan semu. Mereka, karena sudah terbiasa, maka merasa dijajah juga enak saja. Contoh lain, binantang buas yang ada di kebun binatang, atau burung yang sejak kecil didalam sangkar, ketika dilepas seketika, tidak mampu mencari makan sendiri. Bertahun-tahun tergantung dengan manusia. Makanan disediakan. Maka, dianggapnya hidup disangkar atau dikebun binatang itulah yang paling nyaman. Tetapi, jika dilepas di alam dalam beberapa waktu, naluri dasarnya untuk mandiri segera terbentuk. Demikian jugalah warga kita yang ada di daerah-daerah terpencil. Maka, proses penyadaran oleh para pemimpin kepada warga tertindas itu tidak serta merta ditanggapi positif. Butuh waktu dan kerja keras. Ini pula yang sekarang sedang berproses di daerah-daerah. Para kader PATRI yang sudah menjadi pemimpin, berusaha menggali memori menyadarkan saudaranya yang lain. Bahwa kita ini bukan warga rendahan, murahan, atau semacam pelengkap penderita semata. Bukan. Kita adalah kaum yang sudah
lulus dalam ujian alam, ujian kehidupan, dan ujian psikologis lainnya. Jadi sudah saatnya kita menggunakan ijazah lulusan kehidupan itu berganti tampil memimpin negeri ini…

Saudaraku,

Kembali ke masalah politik. Coba kita perhatikan, siklus pemilu 5 tahunan ini membuat roda perhimpunan juga harus bekerja secara teratur. Sekali lagi saya
jelaskan, kita bukan Partai Politik. Tetapi konstitusi negara telah mengatur, bahwa siapapun boleh ikut memimpin atau jadi pemimpin, asalkan mengikuti aturan main. Partai politik ibarat kendaraan. Partai politik (parpol) saat ini hampir-hampir sangat cair ideologinya. Buktinya, setiap orang, kapan saja, sesukanya membuat parpol baru. Persoalan kalah dan menang, itu adalah bagian cerita kehidupan. Sementara itu, kita ini organisasi yang berpotensi menjadi besar dan solid asal dikelola secara baik. Kita punya modal dasar yang bagus sekali, yang jarang dimiliki organisasi politik atau ormas lain. Pertama, kita sudah terbiasa hidup dalam tekanan hidup yang berat. Kedua, kita mempunyai dasar ideologis senasib sepenanggungan walaupun kita berasal dari agama, suku, dan budaya berbeda-beda. Ketiga, kita mempunyai basis massa yang terhimpun dalam wilayah tertata, seperti di eks UPT atau desa-desa transmigrasi. Jadi sebenarnya kita sudah lebih dari cukup untuk membuat partai sendiri. Tetapi, jika kita memang belum berminat membuat kendaraan sendiri, mengapa tidak menggunakan kendaraan yang sudah ada? Apalagi kendaraan yang ada itu bebas dibeli atau dimiliki oleh siapapun. Maka, kader PATRI harus hebat dan mumpuni. Sehingga ketika ikut kendaraan parpol bukan sekedar jadi penumpang, tetapi menjadi sopirnya. Ya, harus menjadi sopirnya. Oleh karena itu, apapun partainya, selama sopirnya kader PATRI, maka semuanya wajib mendukung. Memang, secara praktek agak sulit menjabarkan. Bagaimana membedakan fanatisme terhadap partai atau kepada PATRI? Begini penjelasannya. Ibaratnya PATRI adalah rumah besar kita. Kita tidur dan menjalankan hidup berkeluarga didalam rumah besar PATRI. Tetapi didalam rumah “Gadang” itu terdiri kamar-kamar yang diisi oleh kakak, adik, saudara, dan teman-teman kita senasib sepenanggungan. Kita tidak bisa memaksakan didalam rumah itu mempunyai selera makan yang sama. Itu sudah kehendak alam, kehendak Allah. Ada yang senag makanan pedas, manis, gurih, dan lain-lain. Dalam memilih bajupun, ada yang suka batik, warga putih, merah, kuning, hitam dan sebagainya. Pun dalam memilih pasangan hidup, memilih keyakinan, memilih pendidikan, dan lain-lain pilihan. Tetapi, didalam rumah itu kita punya kesepakatan. Kita semua wajib selalu menjaga rumah
itu tetap tegak, tetap nyaman, tetap aman. Karena itu, ketika diluar rumah, kita bebas memakai warna pakaian apa saja, makan jenis yang disukai, mencari kendaraan yang baik. Tetapi sesama kita tidak boleh saling menjegal, merugikan, memfitnah, apalagi membunuh.

Agar aturan itu dapat dijalankan, kita perlu secara teratur bermusyawarah didalam rumah besar itu. Dalam rumah itu harus ada orang tua atau dituakan, diminta nasihat, dan berhak mendamaikan. Nah, itulah gambaran Rumah Besar PATRI kita. Penghasilan yang kita terima dari luar rumah, dari jenis pekerjaan yang kita jalankan, kita sumbangkan sebagian untuk membiayai rumah kita. Misalnya, membayar listrik, memperbaiki dinding yang rusak, menggaji pembantu, petugas ronda, dan lain-lain. Setiap lima tahun, kita ikut saling kontes. Kita harus tanamkan, baik kalah atau menang, kita tidak pernah dirugikan atau merugikan saudara kita yang lain. Karena itu pula, masing-masing harus membuat strategi secara baik.

Dulu, diawal PATRI berdiri banyak yang apriori dengan kita. Kita dianggap perhimpunan rasial, mengkotak-kotakkan masyarakat. Alasannya, mereka
menganggap warga eks kolonisasi, transmigran, repatrian, Jawa Kontrak, dan lain-lain sudah nyaman dengan keadaannya sekarang. Mereka menganggap, warga kita sudah selesai “persoalannya”. Sepertinya alasan itu benar. Kita ingat tentang kisah burung dalam sangkar tadi. Kita ingat kisah binatang buas yang menjadi pajangan penghuni kebun binatang. Kita ini bukan binatang. Kita ini warga merdeka. Dan kita tidak mau hanya menjadi penonton. Coba lihat warga kita ditempat-tempat lain. Selain sudah banyak yang sukses, tetapi tak kurang pula yang menderita berkepanjangan. Siapa yang mau peduli dengan semua itu? Jika saja PATRI tidak lahir, penderitaan saudara kita dilokasi bermasalah lain tak pernah diekspos, diberitakan, atau diperhatikan oleh pihak yang bertanggung-jawab. Karena itu, alasan bahwa PATRI tidak ada relevansinya sebagai ormas sangat tidak berdasar.

Kader PATRI

Penjelasan berikutnya, selama ini tidak ada pihak lain yang mempermasalahkan organisasi yang dibuat hanya berdasarkan satu agama, satu suku, satu keyakinan dan bahkan satu kota. Mereka tidak melihat bahwa NU, Muhammadiyah, Wali Gereja, Parisada Hindu, Ikatan Keluarga Tiong Hoa, Perhimpunan Warga Batak, Madura, Bugis, Puja Kesuma, dan lain-lain sebagai organisasi diskriminatif. Misal, NU dan Muhammadiyah beranggotakan ummat Islam. Organisasi agama Katolik, Hindu, anggotanya juga hanya satu keyakinan. Perhimpunan warga cina, jelas hanya bagi warga cina. Demikian pula organisasi suku Bugis, Batak, Madura dan lain-lain, dengan membaca namanya saja sudah jelas. Mereka hanya beranggotakan satu kelompok. Sedangkan di PATRI, kita ada warga transmigran dari lokal, dari nusa tenggara, Bali, Jawa, Sunda, Lampung, Dayak. Agamanyapun ada Islam, Kristen, Hindu, Kaharingan, dan lain-lain. Lebih variatif dan menunjukkan ke-Indonesiaan. Tetapi mengapa ada yang tidak suka. Selidik punya selidik, ternyata kita ini organisasi yang sangat besar. Justru dengan kemajemukan kita itulah yang “ditakuti” oleh oknum elit tertentu. Karena, jika PATRI solid, kompak, konsisten, dan setia kepada pimpinan, maka akan sangat mudah bagi PATRI mempengaruhi konstalasi perpolitikan, menentukan arah pembangunan daerah atau bahkan nasional. Karena itu, janganlah kita berkecil hati, jangan pula kita berkeluh kesah. Kita tunjukkan, bahwa kita adalah organisasi yang terbaik di negeri ini. Bagaimana pihak lain melihat bahwa PATRI sebagai organisasi yang baik? Pertama- tama tentu bahwa kelompok lain akan melihat, sejauh mana kader PATRI berperan. Apakah kader PATRI sudah mempunyai sumbangan positif dilingkungan dekatnya? Kader ibaratnya etalase. Kita selalu terlihat dibarisan depan manakala ada kelompok lain melihat. Karena itu, kader PATRI harus dipilih dari anggota terbaik. Kalau dikemiliteran, kader adalah pasukan komando. Tutur kata, intelektualitas, akhlak dan
moralitas, profesionalisme, dan sifat keteladanan lain adalah salah satu tolok ukur seperti apa kualitas PATRI. Karena itu, sejak sekarang ini saya pesan, agar teman-teman pimpinan organisasi PATRI selalu menjaga citra baik itu. Hal lain adalah sejauhmana PATRI secara organisatoris telah memberikan kemanfaatan di daerahnya? Kader PATRI yang berhasil menjadi Rektor, Jenderal, Pejabat Negara, Anggota Legislatif, Bupati, Walikota, dan lain-lain adalah bentuk konkrit sebagai pembuktian bahwa PATRI bukan sembarang organisasi. Tetapi yang patut diperhatikan, bahwa pimpinan organisasi harus selalu memelihara silaturahim dengan kader yang sukses tersebut, atau kader yang ingin maju berlaga dijalur eksekutif maupun legislatif. Maksudnya adalah, agar kader yang belum berhasil atau telah berhasil tersebut tetap mempunyai ikatan psikologis, emosional, historis maupun organisatoris terhadap PATRI. Ini penting. Karena, agar kader-kader kita yang telah berhasil selalu dekat dan merasa, bahwa keberhasilan yang diperolehnya berkat dukungan keluarga besar PATRI. Dengan demikian, akses ini secara timbal balik bisa saling digunakan untuk evaluasi. Kita tahu, kekuasaan adalah salah satu “cobaan hidup” paling berat. Karena, dengan berkuasa kader bisa menjadi selebritis, populer, akses kian luas, peluang dan kesempatan kian besar, dan karena itu kebutuhan hidup menjadi “melonjak”. Kita dan pimpinan organisasi harus selalu saling mengingatkan. Bahwa jati diri kita dibangun dari orang tua yang sederhana, peduli orang miskin, dan biasa bersilaturahim. Setelah menjadi pejabatpun, kita harus tetap menjalankan warisan sikap hidup rendah hati, sederhana, dan selalu dekat
kepada kehidupan religius. Nah, siapa yang menjamin bahwa jika diantara kita tidak ada hubungan organisatoris, kita selalu bisa menjadi teladan? Syetan selalu ada dimana-mana. Aji mumpung selalu menggoda para penguasa. Tetapi, kita tidak boleh mengikuti bisikan syetan itu.

Saudaraku,

Kita tahu, untuk bisa menjadi pejabat tinggi, bupati, walikota, gubernur, rektor, legislatif, dan profesi yang dekat dengan kekuasaan memerlukan perjuangan hebat. Kita butuh potensi kader yang baik, butuh dana tidak sedikit, butuh dukungan suara yang signifikan. Untuk menjadi Bupati misalnya, kita harus membayar biaya partai, biaya kampanye, pendaftaran, keperluan administrasi, dan lain-lain. Biaya yang dibutuhkan juga tidak sedikit. Karena kebutuhan biaya yang besar itu, maka ada calon yang akhirnya pinjam ke Bank, menjual sebagian harta bendanya, menggadaikan kekuasaan dengan investor (ngijon), dan macam-macam. Mereka menganggap, dengan uang kekuasaan bisa dibeli. Padahal tidak seluruhnya benar. Ketika calon kalah, dia merugi berlapis-lapis. Ketika dia menang, dia tetap terikat uang utang. Sehingga, godaan korupsi menjadi hantu disiang bolong. Itu kondisi yang sedang terjadi. PATRI, sekali lagi PATRI, jangan terjebak permainan seperti itu. Kekuasan bagi kita menjadi penting. Karena dengan kekuasaan itu kita bisa “mengarahkan” jalan hidup kita, membuka akses, menikmati keistimewaan, dan lain-lain. Tetapi kita harus punya cara yang cerdas untuk mencapainya. Sekarang ini hampir semua orang bisa menjadi penguasa. Syaratnya makin gampang, yaitu ada yang memilih. Nah, apakah kader PATRI yang jumlahnya jutaan ini tidak ada yang layak menjadi pemimpin? Apakah kader PATRI yang jumlahnya jutaan ini semuanya minta uang ketika diminta mensukseskan anggotanya? Maka, mekanisme organisasi harus dibangun dengan baik. Jauhkan praktek-praktek politik uang (money politic) ini dari perbendaharaan PATRI. Yang penting adalah kompak, bersatu, dan mencalonkan hanya satu pasangan. Jangan karena syarat menjadi pemimpin gampang, kita mudah diadu domba. Mestinya calon kita bisa menang, karena ada diantara kader tidak setia, kemenangan tidak diraih.

Kader PATRI

Marilah kita belajar dari pengalaman. Bagaimana kehidupan politik sebelum dan sesudah reformasi. Kita tahu, sebelum reformasi negeri ini dikuasai Golkar. Semua organ birokrasi, militer, bisnis, dan organisasi massa dibuat kuning. Jika melihat itu, siapa menyangka Golkar akan terpuruk? Coba, kita sedikit kritis. Siapa yang membuat terpuruk, dan bagaimana hal itu sulit diatasi? Tetapi sebelum itu, kita bisa belajar bahwa dengan kekuasaan ditangan “segalanya” menjadi mudah. Presiden Golkar, Legislatif mayoritas Golkar, Kabinet orang Golkar, dan otomatis kanal bisnis diserap oleh mereka yang berafiliasi dengan partai pohon beringin itu. Apa artinya, bahwa dengan kekuasaan yang diperoleh Parpol, maka semakin besar peluang “rezeki” yang dapat dialirkan kepada para kadernya. Semua program-program partai dapat dibiayai dari kekuasaan itu. Dan lebih dari itu, stabilitas dapat relatif dipertahankan. Sebaliknya, partai kecil tanpa kekuasaan, tanpa akses, dan akhirnya menjadi sasaran kesalahan. Tapi sekarang sangat berbeda alamnya, walaupun substansinya tidak ada yang baru. Kekuasaan yang dulu berada disatu tangan, sekarang dibagi keberbagai jurusan. Kalau dulu kekayaan pada satu tangan bisa sangat besar, maka sekarang harus dibagi-bagi. Tetapi selalu saja kejadiannya sama. Yang memegang kekuasaan dilevel lebih bawah masih mempunyai bagian keistimewaan tersendiri. Bayangkan, dulu dizaman ORBA hanya 3 kontestan pemilu (P3, Golkar, PDI). Sekarang puluhan. Semuanya nyatanya tetap menikmati keistimewaan, fasilitas, privasi, dan kekayaan lainnya. Apakah mereka mewakili kaum tertindas? Apakah mereka ada yang menyuarakan aspirasi PATRI? Apakah mereka anak-anak orang yang susah? Apakah mereka sering datang ke wilayah transmigrasi? Kita tidak perlu menjawab sekarang. Tetapi yang lebih penting, bagaimana menyiapkan kader-kader kita yang ada sekarang ini. Bagaimana kita menempatkan para kader pada posisi yang tepat. Bagaimana agar nasib kita turut berubah kearah yang terbaik. Bagaimana agar penguasa yang mengelola transmigrasi bekerja secara nurani dan tidak sekedar proyek, ABS (asal bapak senang), atau ATT (asal target tercapai). Nah, siapa yang bisa mempengaruhi, mengontrol, atau bahkan memutuskan kebijakan itu? Semua itu bisa kita lakukan jika kader-kader PATRI yang duduk dikursi itu. Dari Kursi Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri, dan bahkan Presiden sekalian. Kursi legislatif ditingkat Kabupaten dan Kota, Provinsi, hingga Pusat, semuanya harus ada kader kita ditempat itu.

Saudaraku,

Siap atau tidak siap, kita harus bahu membahu. Holopis kuntul baris. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Kita satukan langkah, menyiapkan para calon yang akan diusung. Kita berikan wawasan, keilmuan, ketrampilan, dan sikap keteladanan. Kita lakukan terus konsolidasi, perkaderan, dan selalu menjalin silaturahim. Dalam hal perkaderan, ini menjadi nafas organisasi kita. Kader ibaratnya keturunan. Keluarga yang tidak mempunyai keturunan, ibarat tidak mempunyai penerus sejarah. Raja yang tidak punya keturunan, terancam tidak dapat melanjutkan dinasti kekuasaannya. Organisasi yang tidak menjalankan kaderisasi, silakan tunggu kematiannya. Jadi, kaderisasi harus dilakukan secara teratur. Walaupun hiruk pikuk saat ini adalah berkaitan dengan urusan politik, tetapi kaderisasi bisnis jangan dilupakan. Bisnis dan kekuasaan harus secara serentak dijalankan. Kekuasaan tanpa didukung bisnis, tidak bisa berkembang. Demikian pula, bisnis tanpa didukung kekuasaan, akan mudah diperdayakan. Jadi kita harus saling berbagi peran. Yang mempunyai bakat dibidang politik, terus didukung dan diperdalam ilmunya, ketrampilannya, dan kenegarawanannya. Mereka yang mempunyai bakat dagang, terus diperbesar usahanya, agar mampu melahirkan dan membawa gerbong baru dari kader lainnya. Yang sukses membantu dan menggandeng yang sedang belajar. Yang masih belajar jangan ragu untuk bertanya, dan magang kerja. Jika PATRI menjadi besar, maka ibarat mobil kita mempunyai tempat duduk yang banyak. Ibarat kapal laut kita bisa mengangkut lebih besar. Itu artinya lebih banyak lagi warga kita yang bisa kita bantu untuk hidup lebih baik. Para pemimpin, para elit, atau sopir-sopir
kekuasaan semuanya bisa menikmati keistimewaan berkat dipilih oleh warganya. Maka, sebagai balas hutang budi itu, mereka wajib memberikan kemudahan,
kenyamanan, dan penghidupan yang lebih baik. Jika sinergitas secara mutualistik ini dibangun terus, insya Allah tidak akan terjadi perpecahan dalam tubuh PATRI.

Kader PATRI

Dulu sebelum PATRI lahir, sangat sedikit orang yang tahu, apa itu transmigrasi. Orang juga tidak ambil peduli, seperti apa kehebatan atau nasib buruk yang menimpa transmigran dan keturunannya. Teman-teman muda membuat organisasi, kebanyakan dengan nama asal mereka. Misalnya, Pujakesuma (Putra Jawa
Kelahiran Sumatra), Triyana Putra, Jamur Kusuma, Permapas (Perhimpunan Mahasiswa Pasundan), dan lain-lain. Yang menamakan diri organisasi secara
eksplisit kata-kata transmigran seperti: Forum Mahasiswa dan Pelajar Anak Transmigran di Kalimantan Barat, Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Muhajirin di
Aceh, Perhimpunan Mahasiswa dan Pelajar Makarti, dan Paguyuban Mahasiswa Anak Transmigran di Unsoed Purwokerto. Semua itu bersifat lokal kedaerahan, dan diantara organisasi itu tidak ada saling hubungan komunikasi, apalagi koordinasi. Jadi sebelum adanya perhimpunan secara nasional seperti saat ini, kita ini seperti OTB ( Organisasi Tanpa Bentuk). Anda bayangkan, bagaimana kita bisa tahu bahwa ternyata ada anak keturunan transmigran yang sudah jadi Profesor, Doktor, Direktur Jenderal, Bupati, Walikota, Perwira Tinggi, dan lain-lain? Bisakah kita menebak sebelum ada PATRI, bahwa Rektor Unila (Lampung) itu anak transmigran? Atau Sekjen DPP PATRI itu anak transmigran? Begitu kita membuat Perhimpunan, kita melompat dari sistem tertutp menjadi sistem terbuka. Sebagian besar kita terperangah, oh..ternyata dia anak transmigran, oh..tidak disangka..dia anak transmigran.. Kita semua baru menyadari dan baru tahu tentang diri kita sendiri, bahwa ternyata kita bukan kelompok sembarangan. Dari lompatan pertama, yaitu kesadaran membentuk organisasi yang bersifat lokal, maka ketika PATRI dibentuk tanggal 16 Februari 2004, kita masuk ke lompatan kedua yang bersekala nasional. Dan kini kita mulai memasuki lompatan ketiga di tahun 2009. Uji coba soliditas dan konsolidasi itu dapat dirasakan dengan tampilnya sebagain Ketua DPC PATRI di Lampung yang memenangkan pemilihan sebagai Bupati (Lampung Timur) dan Walikota (Metro). Juga di Barito Kuala menjadi Wakil Bupati. Keberhasilan konsolidasi itu memerlukan pengelolaan organisasi secara baik. Nah, tahun 2009 ini momentum siklus Nasional 5 tahunan harus dimanfaatkan oleh kader-kader PATRI di daerah.

Jika tahun 2009 ini kita melaju dengan lompatan ketiga yang berskala nasional, maka akan membawa arus penguatan baru bagi eksistensi PATRI kedepan. Bayangkan, jika setiap provinsi ada kader PATRI yang duduk di legislatif (DPR RI atau DPD RI), maka semakin besar peluang mempersatukan Indonesia ini. Wilayah transmigran yang terpencil, daerah-daerah yang terbelakang, akan segera berkurang. Karena, hanya anak-anak transmigranlah yang mengalami langsung penderitaan diwilayah terpencil, terisolir, dan bahkan di pulau-pulau kecil. Sehingga ketika mereka duduk di Parlemen, alam bawah sadarnya akan memandu untuk membangun daerah, dimana mereka berasal. Mereka tidak terlalu “Jawa Centris”, Bali Centris, atau Madura Centris. Karena mereka mengalami masa sulit di unit-unit permukiman transmigrasi. Karena mereka juga menang karena didukung oleh warga dan kader-kader PATRI. Tentu, secara moral, organisatoris dan politis (apapun partainya), yang harus dilakukan adalah membangun daerah. Kita harus tahu dan sadar, salah satu kendala
kemajuan pembangunan di Indonesia karena penyebarannya tidak merata. Ada provinsi yang begitu maju, tetapi ada yang masih terbelakang. Nah, kita warga PATRI harus tampil dibarisan depan membangun daerah-daerah kita itu. Coba renungkan, jika didaerah pedalaman Kalimantan,. Sulawesi, Maluku, dan Papua yang ada unit-unit permukiman transmigrasi dibangun dengan baik, maka otomatis kota-kota Kabupaten dan Provinsinya ikut terbawa maju..

Kader PATRI

Semakin banyak perwakilan kita di Parlemen, atau bahkan ada yang dikabinet, akan membawa roda ekonomi daerah transmigrasi berputar cepat. Proyek-proyek pembanguan, tidak sekedar “proyek-proyekan”, akan tumpah ruah di daerah-daerah tujuan transmigrasi. Itu berarti bisnis berkembang. Anak-anak dan pemuda kita yang punya bakat bisnis dibidang infra struktur jalan, jembatan, properti, perdagangan hasil bumi, tempat kost, dan lain-lain punya peluang bekerja. Kita bisa melatih dan merekrut warga sekitar lokasi permukiman. Gerbong-gerbong pembangunan yang lokomotifnya ada di Parlemen dan Kabinet akan membawa penumpang baru kedaerah-daerah. Sehingga, kita tidak perlu balik ke Jawa, Bali, dan Madura. Yakinlah, semakin banyak lokomotif yang berasal dari kader PATRI, maka semakin cepat pemerataan pembangunan serta integrasi nasional lintas agama, suku, dan budaya itu terwujud. Itu adalah tugas kita, kader PATRI.

Namun, kita harus selalu waspada. Para komandan di lapangan (Ketua DPC, PAC, Pengurus Ranting) harus jeli mempromosikan kader. Jangan asal pilih. Kalau salah, selain mencemarkan nama baik keluarga besar PATRI, juga akan menghambat pembangunan daerah. Kita harus tanamkan rasa malu berbuat nista. Kita ini anak keturunan orang tua yang sudah terbiasa hidup sederhana, prihatin, bahkan susah. Jadi, jangan mudah silau dengan godaan harta, kekuasaan, fasilitas, dan wanita. Kita harus bersumpah setia kepada PATRI dan orang tua kita, bahwa kader PATRI tidak akan berbuat tercela. Kita harus menjadi teladan dimanapun berada. Kita ini organisasi yang baru tumbuh. Jangan ada oknum penyusup yang membusukkan PATRI dari dalam. Ingatlah pesan ini.

Saudaraku

Sebagai organisasi yang baru tumbuh, dimana-mana kita belum punya kas dan dana yang cukup. Sehingga secara teratur kita belum mampu melakukan konsolidasi. Kita tahu, baru sedikit warga kita yang mampu ekonominya untuk menyumbang PATRI. Bisa jadi, karena jumlah yang sukses secara finansial memang masih sedikit, juga karena mereka belum dapat dikonsolidasikan secara baik. Karena itu, inilah saatnya kita bertekad untuk iuran. Jika ada satu yang berhasil, kemudian secara gotong- royong mengajak warga yang lain, semakin lama semakin banyak pula orang mampu dilingkungan kita. Wajar jika kita memang belum mampu membiayai organisasi ini secara memadai. Kita memang berangkat dari titik nol. Tertatih-tatih kaki kecil kita
melangkah maju. Secara alami terus berjalan, tetapi secara semangat dan do’a tulus; pasti suatu saat nanti dapat memobilisasi kader secara vertikal (bersambung).

H.Sunu Pramono Budi (Hasprabu), Sekjen DPP PATRI Periode 2004-2009, e-mail: prambsm@centrin.net.id HP/Telp : 021-94910027

3 Comments »

  1. Tulisannya sangat bagus. Bisa memancing inspirasi anak-anak transmigran lainnya. Semoga tak pernah berhenti untuk berkarya.

    Comment by Sabrina — February 2, 2009 @ 10:17 pm

  2. Inspiratif dan Full biogratif..
    memberikan wacana lugas dan kreatif bagi anak anak transmigran lainnya..

    Comment by Agung Basuki — June 18, 2009 @ 12:08 pm

  3. Terimakasih atas dimuatnya tulisan saya dan tanggapan dari para pembaca. tetap berkarya

    Comment by Hasprabu — September 25, 2012 @ 6:28 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a reply to Hasprabu Cancel reply

Blog at WordPress.com.