Profil Tokoh DEPOK

Ekowati Rahajeng

Dr. Ekowati Rahajeng M.Kes

Mei 2008

Ekowati Rahajeng.  Gerakan tanpa Asbak

Republika, Minggu, 25 Mei 2008

Ekowati Rahajeng adalah peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan (Balitbang Depkes) Republik Indonesia. Tapi, warga Depok mempercayainya untuk menjadi ketua –kemudian menjadi pembina– Forum Kota Depok Sehat (FKDS). Di forum ini berhimpun berbagai organisasi, mulai dari organisasi kewanitaan, profesi, LSM, PKK, unit pelayanan kesehatan, industri, lembaga pendidikan, hingga pemerintah daerah yang menjadi mitra dalam mewujudkan kota Depok yang sehat.

Bukan kebetulan bila sarjana kesehatan masyarakat itu diberi kepercayaan memegang peran tersebut. Doktor bidang epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) ini memang pernah melakukan penelitian perilaku masyarakat terhadap tingginya penderita penyakit penyebab utama kematian, seperti kardiovaskular (hipertensi dan jantung koroner), stroke, atau penyakit paru. Salah satu di antara penyebab utama penyakit tersebut adakah rokok. ”Waktu itu, Depok jadi daerah uji coba,” kata dia.

Penelitian yang dilakukan Balitbang Depkes bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) pada 2001 itu menemukan angka perokok yang mencengangkan di Depok. Prevalensi perokok berusia di atas 25 tahun adalah 36,7 persen pada pria dan 2,9 persen pada perempuan.

Mengambil sampel di Kelurahan Abadi Jaya, penelitian itu juga menemukan banyak perokok yang mulai melakukan kebiasaan buruk tersebut sejak usia di bawah 10 tahun. Alasannya, ya, sekadar gagah-gagahan. ”Coba-coba, supaya kren,” ucapnya. Tapi, sebagian besar mulai merokok pada usia 16-20 tahun.

Merokok, bagi warga Depok –dan warga kota lainnya– sudah menjadi kelaziman yang seakan diterima secara wajar oleh masyarakat. Perilaku semacam itu diterima secara sosial. Mereka boleh merokok di sembarang tempat, tanpa batas ruang dan waktu. Peraturan yang ada tak lebih dari pajangan, tanpa diikuti pengawasan. Tak ada aturan yang ketat.

Kondisi ini yang menggelisahkan Ekowati. Kelaziman itu tidak searah dengan misi forum sehat. Ia tak ingin membiarkan kegelisahan terus menderanya. Tapi, bagaimana mengubah kebiasaan masyarakat yang tidak menyehatkan itu? Ekowati punya cara. Melalui FKDS, ibu tiga anak kelahiran Lampung, 10 Juni 1960, ini menggerakkan masyarakat. ”Kita mulai dari bottom up. Dari bawah, ” ucapnya.

Dibuatlah gerakan rumah tangga tanpa asbak dan membiasakan mengganti istilah ‘uang rokok’ dengan ‘uang buah’. Bila ada pertemuan yang dihadiri banyak perokok, ibu-ibu dengan refleks menyingkirkan asbak yang ada. Ruang gerak perokok dipersempit. Pendek kata, bagaimana membuat perokok tidak merasa nyaman. Kerap kali, menurut Ekowati, bila bertemu dengan orang yang sedang merokok, rokoknya diminta lalu digantikan dengan buah. ”Ini kan tidak hanya rokok, tapi integrasi dengan yang lain, bagaimana hidup sehat,” kata dia.

Tak sebatas itu gerakan forum ini. Di tingkat kota, mereka menyoroti banyaknya iklan rokok yang bertebaran di jalan-jalan utama kota itu. Bahkan, saat pemilihan wali kota, forum ini menyatakan dukungannya terhadap calon yang tidak merokok. Tak ayal, dia dianggap mendukung salah satu calon. ”Saya diserang habis,” ucapnya.

Ekowati mengaku saat itu tidak mendukung siapa-siapa. Niatnya hanya ingin masyarakat mulai terbiasa tidak merokok, sehingga penyakit penyebab utama kematian dapat dikendalikan. Harapannya, masyarakat mulai menganggap merokok sebagai perilaku asosial, tidak seperti sebelumnya yang menerima perokok secara sosial. Gayung bersambut, dalam perjalanan waktu, Nur Mahmudi Ismail –sosok yang jauh dari asap rokok– terpilih sebagai wali kota.

Ekowati merasa beruntung, tidak berjalan seorang diri mendorong masyarakat hidup sehat dengan menganjurkan tidak merokok. Kebersamaaan dengan masyarakat memberinya kekuatan dalam menghadapi rintangan dari para perokok. Ia –bersama warga yang lain– terus melangkah, mempersempit ruang gerak perokok. Ekowati yakin, mengendalikan penyakit-tak-menular tidak harus dengan obat. Tapi, ya itu tadi, dengan cara hidup sehat dan menjauhkan masyarakat dari pangkal penyebab penyakit mematikan itu.

Toh, Ekowati menyadari bahwa mengajak para perokok menghentikan kebiasaan merokok tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh waktu, butuh kebersamaan untuk mewujudkannya. ”Yang kita lakukan, bagaimana menciptakan situasi bawha merokok itu statusnya rendah,” kata Ekowati.

Upayanya, boleh jadi, bukanlah sebuah kesia-siaan. Ekowati melihat, perilaku masyarakat perlahan-lahan mulai berubah. Setidaknya, mulai ada yang merasa malu merokok di dekat orang yang tidak merokok. Gerakan tanpa asbak rokok menyebar di kelurahan dan kecamatan yang lain.

Lebih dari itu, iklan rokok yang semula banyak menghiasi jalan-jalan utama kota Depok, kini mulai berkurang. ”Alhamdulillah, Wali Kota concern,” kata Ekowati.

Dia berharap ada peraturan daerah di Depok yang mengatur soal merokok, yang diikuti pengawasan yang ketat. Ia tidak ingin kasus di DKI Jakarta berulang di Depok, ada aturan soal merokok tapi tak ada upaya penegakan.
(bur )

Yang Muda yang Berubah

Koran Tempo, 5 Mei 2008

Sebagian remaja Kota Depok, Jawa Barat, memilih berhenti merokok. Kader potensial untuk meneruskan keberhasilan Gerakan Tanpa Asbak.

Sisa-sisa air hujan masih ada di lapangan futsal Lerina, perumahan Abadi Jaya, Kota Depok, Jawa Barat, Rabu malam lalu. Dinginnya malam tak membuat 12 orang pemain futsal yang bergabung di klub Lerina–singkatan dari Jalan Lesung, Rinjani, dan Agung yang berada di kompleks tersebut–kendur semangat untuk berlatih rutin. Setelah lapangan beres dipel bersama-sama, latihan pun dimulai sekitar pukul 20.30 WIB.

“Satu, dua, tiga!” Arya Dio, salah satu pemain, memberi aba-aba kepada teman-temannya saat melakukan pemanasan. Goyang kepala kanan-kiri, depan-belakang, lari-lari kecil, lompat, dan sebagainya. Lalu, Arief, sang pelatih, mengajarkan teknik menggiring bola, mengoper, dan melepaskan tembakan ke gawang. Hampir satu jam berlatih, tubuh belasan remaja itu basah dengan keringat.

“Terasa banget bedanya. Saat masih merokok, latihan gini capeknya parah. Napas pun megap-megap,” kata Dio, 17 tahun, kepada Tempo di saat jeda latihan. Sejak dua bulan lalu, pria bertubuh ramping ini memang memutuskan berhenti merokok. Manfaat besar setelah tak lagi mengepulkan asap rokok juga disampaikan M. Nuryatin, yang akrab dipanggil Firman, rekan main Dio. “Kemarin-kemarin, waktu masih ngerokok, latihan gini sudah bilang, ‘Mas, istirahat.’ Sekarang nggak lagi. Beda banget,” kata pria 17 tahun ini, yang berhenti merokok sebulan lalu itu.

Perubahan sikap Dio dan Firman untuk tak merokok tak lepas dari anjuran pelatih Arief Kurniawan. Salah satu kiat yang disorongkan oleh pelatih berusia 23 tahun yang mengaku tak pernah tahu rasanya rokok itu adalah menjauhi rokok. “Kalau mau jadi atlet futsal yang profesional, jauhi rokok,” katanya. Dengan cara begitu, daya tahan dan penampilan para pemainnya jadi lebih optimal. “Napas jadi bagus,” Arief, menyebut salah satu manfaat berhenti merokok.

Sejujurnya, di luar anjuran sang pelatih, ada faktor lain yang membuat Dio dan Firman kapok mengisap rokok. Keduanya sempat mengidap batuk yang tak kunjung sembuh. Bahkan Dio, yang mengenal rokok sejak kelas III sekolah menengah pertama, sempat mengidap penyakit batuk hingga 1,5 bulan. Supaya sembuh, dokter menganjurkan agar ia berhenti merokok. Setelah sembuh, pilihan sepenuhnya diserahkan kepada Dio. “Kalau mau sakit lagi, silakan merokok lagi,” kata Dio–kini kelas III sekolah menengah atas–mengutip perkataan dokter. “Saya memilih berhenti merokok. Saya tak mau sakit lagi.”

Pilihan ingin sehat itu disokong Firman, yang sudah menyulut rokok sejak kelas II sekolah menengah pertama. Kini, saat dirinya duduk di kelas II sekolah menengah atas, tawaran dari teman-temannya untuk kembali mengisap rokok acap kali datang. Ia tetap teguh. Sikap itu pula yang dipilih oleh Faisal Hamonangan, remaja Abadi Jaya yang lain. Bahkan, jika sedang belajar di rumah dan mencium asap rokok yang dihembuskan ayahnya, bujang 15 tahun itu tak segan meminta rokok tersebut dimatikan. “Yah, bau nih!” katanya, terus terang. “Kalau sudah begitu, biasanya ayah pergi.”

Sulit dimungkiri, bagi warga Kota Depok, juga kota-kota lain, merokok sudah menjadi kebiasaan. Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2001 menunjukkan prevalensi merokok di Kota Depok pada penduduk yang berusia di atas 25 tahun adalah 36,7 persen pada pria dan 2,9 persen pada wanita. Merujuk kepada penelitian yang sampelnya diambil di Abadi Jaya itu, Dr Ekowati Rahajeng, peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Kesehatan, menuturkan bahwa warga Kota Depok sudah mulai merokok sejak usia mereka kurang dari 10 tahun. Sebagian besar, hampir 50 persen “mulai merokok pada usia 16-20 tahun”.

Menurut Ekowati, kebiasaan merokok itu berimplikasi pada kemungkinan meningkatnya angka penderita penyakit tidak menular, seperti kardiovaskuler (hipertensi dan jantung koroner), stroke dan penyakit paru obstruktif kronis. Untuk menekan implikasi buruk rokok itu, lewat wadah lembaga swadaya masyarakat Forum Kota Depok Sehat (FKDS), Ekowati dan kawan-kawan menggeber program Gerakan Tanpa Asbak alias Gerakan Berhenti Merokok sejak 2002.

Seabreg kegiatan pun kemudian digelar. Pegiat FKDS gigih untuk tak menyediakan asbak di ruang tamu atau di tempat-tempat pertemuan, kemudian menyorongkan permen atau makanan ringan sebagai pengganti rokok. Kampanye berhenti merokok dan mengganti rokok dengan buah juga digelar. Bahkan, menjelang pemilihan Wali Kota Depok, pada 2005, mereka menggelar spanduk agar warga memilih calon wali kota–tanpa menyebut nama–yang tidak merokok. Hasilnya, “Terpilihlah Pak Nur Mahmudi Ismail yang kebetulan tidak merokok sebagai Wali Kota Depok,” kata M. Tadjul Maskur, anggota Bidang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat FKDS.

Kini, setelah enam tahun berjalan, Gerakan Tanpa Asbak berhasil menekan prevalensi merokok warga Depok. Jika pada 2001 mencapai 36,7 persen, maka angka tersebut bisa ditekan menjadi 33,4 persen pada 2003. Pada evaluasi 2006, menurut Ekowati, angkanya anjlok tinggal 15,7 persen. Ia berharap keberhasilan itu mampu menekan angka kejadian penyakit tidak menular di sana.

“Kami akan mengampanyekan bahaya rokok di kalangan remaja, termasuk ke sekolah-sekolah,” kata Tadjul perihal program FKDS yang berikutnya. Masuk akal. Setelah kalangan dewasa digarap, giliran para remaja dibidik. “Insya Allah, saya siap menyukseskan gerakan berhenti merokok,” kata Firman. Sikap Dio idem ditto! DWI WIYANA

Rela Kehilangan Surga

“Mengisap rokok sehabis makan, rasanya surga pun kelihatan.” Begitulah perumpamaan para pecandu rokok untuk menggambarkan rasa syur yang didapat saat mengepulkan asap rokok setelah mengisi perut. Setidaknya, itulah yang diungkap oleh Arya Dio, 17 tahun, tentang nikmatnya rokok bagi teman-temannya yang kecanduan rokok. Kini, bagi remaja desa Abadi Jaya, Kota Depok, ini, puncak kenikmatan rokok tersebut tak bakal dicapai. Sejak dua bulan lalu, lajang bertubuh ramping itu menyatakan talaknya pada rokok. “Saya ingin sehat,” katanya kepada Tempo.

Keinginannya cukup beralasan. Ia sempat dihinggapi penyakit batuk tak kunjung henti selama 1,5 bulan. Alasan lain, anak pasangan Bejo Riyadi dan Nyonya Arfiah itu juga ingin menjadi atlet futsal profesional. Diakuinya, memang tak gampang mengusir kebiasaan yang sudah dilakoni sejak naik kelas III sekolah menengah pertama itu. Apalagi, dalam sehari, Dio–kini siswa kelas III sekolah menengah atas–sempat kecanduan hingga menghabiskan satu bungkus rokok.

Di saat-saat awal berhenti merokok, teman-temannya menganggap pilihan Dio sebagai hal yang aneh. Tak hanya itu, mulutnya sering terasa asam. Rasa pusing juga sering menghampiri kepalanya, terutama setelah makan. Toh, ia kukuh dengan tekadnya. Ia tak peduli dianggap tidak macho atawa tidak jantan. Sebagai gantinya, saat dorongan untuk mengisap rokok datang dan pusing mendera, “Saya ngemut permen atau makan camilan,” katanya. Hasilnya, tokcer. Godaan rokok tak lagi menarik bagi Dio. Hal serupa dialami Firman, rekan satu tim futsal Dio, yang juga memilih stop merokok sejak sebulan lalu.

Rela kehilangan “surga” yang dijanjikan rokok, kini keduanya mendapat “surga” yang benar-benar hadir justru setelah berhenti merokok. “Tubuh lebih bugar, napas lebih panjang, dan batuk pun hilang,” kata Dio, yang diiyakan Firman. DWI WIYANA

Tingkat Risiko Penyakit Tidak Menular Meningkat

Laporan Wartawan Kompas Evy Rachmawati, Senin, 30 Juli 2007 – 12:50 wib

JAKARTA, KOMPAS- Populasi orang yang berisiko terserang berbagai penyakit tidak menular di dunia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini. Sebab gaya hidup masyarakat moderen cenderung tidak sehat. Untuk itu, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan berorientasi pada penerapan pola hidup sehat.

“Epidemi global penyakit tidak menular kronis terus berkembang,” kata pakar kesehatan dari WHO-SEARO dr J Leowski dalam seminar sehari bertema “Perspektif Kesehatan Masyarakat terhadap Penyakit-Penyakit Tidak Menular”, Senin (30/7), di auditorium Hotel Bumikarsa, Kompleks Bidakara, Jakarta.

Pada tahun 2005, berbagai penyakit tidak menular diperkirakan menyebabkan kematian pada 35 juta penderitanya yakni sekitar 60 persen dari total angka kematian global. Sekitar 80 persen dari total kasus itu ditemukan di negara-negara miskin dan berpenghasilan menengah, diderita sekitar 16 juta orang berusia di bawah 70 tahun.

Dari semua kasus penyakit tidak menular, penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian pada kaum pria dan perempuan atau sekitar 17 juta kematian pada tahun 2005. Total angka kematian dari penyaki kronis diprediksi meningkat lebih dari 17 persen dalam 10 tahun ke depan. Sementara kematian dari penyakit infeksi, persalinan dan defisiensi nutrisi justru menurun.

Untuk itu, Leowski menyatakan perlu ada formulasi dan penguatan kebijakan nasional, perencanaan serta program pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular yang terintegrasi. Hal ini disertai peningkatan pengetahuan dan kemampuan tenaga medis dalam merencakan dan mengimplementasikan program.

Prof dr Raiesh Kumas dari PGIMER School of Public Health Chandigarh, India, menambahkan pengendalian penyakit tidak menular ini bisa dilakukan antara lain dengan pengenaan pajak rokok dan pajak daging hewan. Pemerintah juga bisa memberikan subsidi bagi produk-produk lemak nabati.

“Pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular dapat dilakukan dengan intervensi berbasis komunitas,” kata Dr Ekowati Rahajeng MKes. Intervensi ini bertujuan mengidentifikasi faktor risiko sebagian besar penyakit tidak menular, pola sosial budaya dan perilaku kesehatan terkait penyakit tidak menular.

April 2007

Risiko Obesitas Pada Kasus Toleransi Glukosa Terganggu TerhadapKejadian Diabetes Mellitus Tipe-2 dan Faktor “Non-Genetik” Lain Yang Berpengaruh

Ketua Pelaksana: Ekowati Rahajeng, SKM, M.Kes.

Abstrak

Penyakit diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) merupakan penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Faktor yang berkaitan dengan sekresi dan kerja insulin antara lain kebiasaan minum kopi. Toleransi  Glukos Terganggu (TGT) merupakan sutau prakondisi kejadian DM. Penelitian  bertujuan mengetahui pengaruh kebiasaan minum kopi pada kasus TGT terhadap  terjadinya DM tipe 2 dan gambaran laju insidensi DM tipe 2 pada kasus TGT serta  kesintasannya.

Penelitian merupakan Study Kohort Prospektif selama 2 tahun 4 bulan terhadap  289 kasus TGT. Diagnosis DM tipe 2 ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan  klinis dan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ³126 mg/dl dan/atau hasil  pemeriksaan glukosa darah 2 jam sesudah pembebanan glukosa ³200 mg/dl. Faktor  obesitas dan faktor non genetik lainnya diukur dan dikumpulkan dengan menggunakan instrumen STEP-WHO untuk surveilans faktor risiko PTM.

Analisis statistik menggunakan perangkat lunak stata versi 8.0. Penilaian laju  insidensi dengan analisis survival, peranan faktor risiko DM tipe 2 dan TGT dengan analisis multivariate Cox Proportional Hazard Regression dan Multinomial  Logistic Regression.

Temuan penting dari penelitian ini (1) obesias abdominal mempunyai rasio
risiko relatif (rasio RR) DM tipe 2 sebesar 3,04 ; (2) faktor lain yang berisiko  DM tipe 2 adalah konsumsi lemak dengan rasio RR 4,04, hipertrigliseria dengan  rasio RR 3,99; kafein 240-359,9 mg dengan rasio RR 3,28 ; kafein ³ 360 mg  mempunyai rasio RR 5,06 ; (3) aktivitas fisik dan konsumsi serat ditemukan mencegah DM tipe 2 masing-masing dengan rasio RR 0,22 dan 0,27 ; (4) Obesitas  abdominal mempunyai rasio risiko relatif (rasio RR) tetap TGT sebesar 2,47 ; (5) faktor lain yang berisiko tetap TGT adalah konsumsi lemak dengan rasio RR 2,51, kafein 240-359,9 mg dengan rasio RR 2,95, kafein ³ 360 mg  mempunyai rasio RR 4,68; dan hipertrigliserida 2,97; (6) aktivitas fisik dan  konsumsi serat ditemukan mencegah tetap TGT masing-masing dengan rasio RR 0,29  dan 0,40

Insiden rate DM Tipe 2 pada kasus TGT ditemukan lebih cepat dari telitian
lain yaitu 9,3% per orang-tahun. Kondisi obesitas pada seseorang yang didasarkan  pada hasil pengukuran nilai IMT ³ 30 tidak ditemukan berisiko terhadap kejadian  DM Tipe 2 maupun tetap TGT. Obesitas abdominal berdasarkan nilai rasio pinggang  terhadap pinggul wanita > 0,85 dan pria > 0,95 ditemukan memberikan risiko  DM Tipe 2 dan tetap TGT. Intervensi terhadap obesitas abdominal memberikan  kontribusi paling besar untuk mencegah terjadinya DM Tipe 2 pada populasi yang  diteliti dengan nilai PAR 42,61%.
http://www.bmf.litbang.depkes.go.idhttp://www.bmf.litbang.depkes.go.id

Informal Consultation Meeting on Integrated Community-Based Prevention of Major NCDs in South East Asia Region, New Delhi, January 27 – 31, 2003

Hari/Tanggal: Senin, 10 Pebruari 2003

Peningkatan yang cepat dari Penyakit Tidak Menular (PTM) menjadi salah satu tantangan utama terhadap pembangunan dunia dalam abad mendatang. Untuk itu diperlukan model penyelenggaraan pencegahan dan pengendalian yang terintegrasi, melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Dalam pengembangan model, Indonesia sebagai pilot proyek bantuan WHO menerapkan model pencegahan dan pengendalian PTM berbasis masyarakat di kelurahan Abadi Jaya, Depok, Jawa Barat pada tahun 2001-2002. Agar kegiatan dapat ditingkatkan atau diperluas ke wilayah lain, hasil pencapaian pilot proyek perlu dievaluasi dan dikonsultasikan secara lokal, nasional dan regional.

Pertemuan Informal Consultation on Integrated Community – Based Prevention of Major Non Communicable Diseases (NCDs) in SEAR, WHO/SEARO dilaksanakan pada tanggal 27-31 Januari 2003 di New Delhi, India. Pertemuan ini dilaksanakan untuk mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan pilot proyek tersebut di atas. Pertemuan ini diikuti oleh wakil-wakil dari negara South East Asia Region (Bangladesh, India, Indonesia) total seluruh pesertanya berjumlah 22 orang. Indonesia diwakili oleh 5 orang yaitu; Ekowati Rahajeng dan dr Suhardi (peneliti Litbangkes), Ir Dunanty RK Sianipar MPH (Pusat Promosi Kesehatan), dr Suryo P. (Dit. Pelayanan Medik dan Gigi Spesialistik), dan dr Dede Kusmana (peneliti proyek Monica, RS Jantung Harapan Kita).

Input materi meliputi; 1) NCD prevention programme in SEAR; 2) Global forum for NCD prevention; 3) Role of risk factor surveillance in planning and evaluating NCD prevention programmes; 4) Healthy setting approach – a tool for integration of health promotion with community based NCD prevention programmes; 5) Community – based NCD prevention project in SEAR; 6) Monica Indonesia Poject; 7) NCD Prevention in Indian Industrial Population Project; 8) WHO Secondary NCD prevention Project in India; 9) Intervention on NCD risk factor- strategies for developing countries; 10) WHO CVD-risk management package – its feasibility and applicability to low resource settings.

Hasil yang didapat dalam pertemuan tersebut adalah; 1) Kegiatan di Kelurahan Abadi Jaya dilaksanakan melalui tahapan meliputi; pengumpulan data dasar, pembentukan Forum Kota Depok Sehat, penentuan prioritas masalah, penentuan intervensi yang efektif dan aplikatif seperti advokasi kebijakan sehat, promosi gaya hidup sehat, mendidik kader menjadi educator dan konselor, meningkatkan peran aktif swasta, PKK, Klub Jantung Sehat, Posyandu USILA dan PTM, dan pemantauan berkala serta evaluasi setelah 8 bulan,2) Evaluasi setelah 8 bulan menunjukan adanya perubahan dalam pengetahuan masyarakat tentang 3 penyakit utama PTM. 3) Kendala yang ditemukan: a) Belum adanya struktur pelaksana program yang jelas karena belum ada program pencegahan dan pengendalian PTM di Dinas Kesehatan Kota Depok, b) Rendahnya respon stakeholder terhadap masalah PTM, c) Terbatasnya pelayanan penyakit PTM di Puskesmas, d) Gencarnya iklan rokok, MSG, fastfood, soft drink mengalahkan promosi gaya hidup sehat, e) Rendahnya kesadaran petugas kesehatan akan PTM, f) Terbatasnya dana untuk intervensi, WHO hanya memberikan dana stimulasi, sehingga perlu mencari dana dari sumber-sumber lain.

Tindak lanjut yang akan dilakukan adalah: 1) Melakukan advokasi kepada penentu kebijakan dilingkungan DepKes 2) Menentukan country focal point untuk PTM dan membangun jaringan antar semua stakeholder yang terkait. Kegiatan pertama akan di selenggarakan workshop untuk mendapatkan komitmen dan langkah konkrit pembangunan jaringan. Dalam hal ini Pusat Promosi Kesehatan diminta untuk menyusun proposal dengan bantuan WHO sebesar USD 7500, 3) pertemuan selanjutnya akan diselenggarakan di Bangkok pada bulan Oktober 2003 untuk membahas networking lebih lanjut.  (Ir. Dunanti R.K.S., MPH)

Desember 2001

Pengembangan Metode Deteksi Dini Tindak Lanjut Dini Masalah Kesehatan Jiwa Remaja melalui Peran Serta Masyarakat di DKI Jakarta

Oleh: Ekowati Rahajeng,  Center for Research and Development of Disease Control, NIHRD

Keywords: kesehatan jiwa remaja; modul; buku panduan; peranserta masyarakat; Warta Litbang Kesehatan
Subject: MENTAL HEALTH; MENTAL HEALTH SERVICES; ADOLESCENCE; CONSUMER PARTICIPATION;

Penelitian ini merupakan suatu pengembangan metode yang dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap I kegiatan bertujuan mendapatkan modul-modul pengetahuan kesehatan jiwa (gangguan dan fasilitas penanggulangannya), cara deteksi dini dan batasan tindak lanjut yang praktis dan memungkinkan dilakukan oleh awam, serta metode pencatatan pelaporan dan rujukan kasus oleh masyarakat.

Juga dikembangkan panduan penggerakan dan pembinaan peran serta masyarakat dalam kegiatan deteksi dini dan tindak lanjut masalah kesehatan jiwa remaja bagi petugas kesehatan.

Pengembangan modul pengetahuan, metode dan panduan/ pedoman dilakukan melalui studi literatur dan temu pakar dengan kualifikasi psikiater, psikolog, dan dokter umum yang berpengalaman dalam pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat, epidemiologis dan sosiolog, uji coba buku pengetahuan dan pedoman/panduan dilakukan melalui pre dan post pelatihan (evaluasi lapangan).

Didapatkan bahwa buku pengetahuan (gangguan dan fasilitas penanggulangannya) dapat dipahami oleh masyarakat. Perbedaan mean pengetahuan pre post pelatihan pada umumnya bermakna (± kesehatan jiwa = 10,39; p= 0,00,1 gangguan = 6,38; p = 0,00 dan t tindak = 5,83; p = 0,00). Berdasarkan pre post pelatihan, buku pedoman/panduan deteksi dan tindak lanjut juga dapat dipahami (t deteksi = 4,54; p = 0,00 dan t tindak = 5,83; p = 0,00). Dari evaluasi lapangan diketahui bahwa validasi metode deteksi melalui peran serta masyarakat dengan menggunakan modul-modul penge-tahuan yang ada cukup baik (sensitifitas 82,1 %, spesifitas 65,8% dan positive predictive value 70,8% negative predictive value 78,0%).

Pada tahap II studi operasional dengan disain “Community Trial di Kelurahan Tebet Barat Jakarta Selatan, Kelurahan Palmerah Jakarta Barat dan Kelurahan Pademangan Jakarta Utara, dengan tujuan untuk mengetahui proses penerapan metode deteksi dan tindak lanjut dini masalah kesehatan jiwa melalui peran serta masyarakat serta kelebihan dan kekurangan metode.

Hasil yang diperoleh adalah:

1.Penggerakan peran serta masyarakat yang positif dimulai dengan pendekatan interpersonal kepada pejabat Pemda dan sektor kesehat-an.

2.Cara pengorganisasian kader yang memberikan hasi1 positif adalah dengan cara meman-faatkan anggota masyarakat yang sudah biasa aktif menjadi kader kesehatan.

3.Pelaksanaan pembekalan kader hanya dalam waktu sekali dua hari tidak efektif dan penyeleng-garaan di luar kelurahan, berlangsung tidak lancar .

4.Pelaksanaan kegiatan deteksi dan tindak lanjut dini masalah kesehatan jiwa remaja oleh kader masih belum lancar karena penggunaan dan kemam-puan kader belum optimal serta kondisi psikososial dan sosial ekonomi yang tidak kondusif.

5.Pelaksanaan pembinaan yang positif adalah dengan cara mengunjungi kader secara berkelompok dan membahas permasalahan secara bersama.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.