Profil Tokoh DEPOK

Risani Patisahusiwa

Risani Patisahusiwa

Juli 2008

Polemik laporan fiktif APBD.  LPM: Drama para politisi cengeng

Monitor Depok, 17-Jul-2008

DEPOK, MONDE: Tiga ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Depok menilai polemik indikasi laporan fiktif APBD yang berkembang di media massa tidak menguntungkan bagi masyarakat Depok saat ini.

Ketiga ketua LPM itu adalah Cecep Iskadar (Kecamatan Beji) Yasin Bia (Kecamatan Cimanggis) dan Risani Patisahusiwa (Kecamatan Limo). Bahkan polemik itu bukan sebuah pengungkapan korupsi yang sesungguhnya, malah cenderung seperti drama politisi cengeng.

“Layaknya sebuah drama, tayangannya tidak menghibur dan tidak punya muatan edukasi,” kata Cecep, baru-baru ini.

Menurutnya, kedua belah pihak baik eksekutif dan legislatif, sudah harus sadar bahwa masyarakat Depok saat ini butuh sesuatu yang nyata.

“Di lingkup legislatif pun harus ada jalinan kerjasama yang harmonis. Apa temuan yang mengindikasikan sebuah ke-fiktif an laporan keuangan harus dibuktikan bersama,” ujar Cecep.

Rangkaian temuan terkait tupoksi DPRD terhadap kinerja eksekutif memang tugas mereka.

“Namun seharusnya kalau tidak ada muatan kepentingan, temuan itu bisa didorong menjadi laporan ke Kejari maupun pihak pengusut lain. Kalau hal itu bisa dilakukan, baru akan berdampak positif kepada masyarakat,” lanjut Cecep.

Sementara dari Risani juga hampir senada. Dikatakannya, sejumlah penilaian muncul karena temuan DPRD terkait laporan keuangan APBD.

“Bisa juga itu akal-akalan, permainan untuk mereka [legislatif dan eksekutif] yang sesungguhnya tidak bisa dilanjuti. Atau ini untuk mengatrol suara di saat persiapan Pemilu 2009 nanti,” katanya.

Seharusnya, lanjut Risani hal ini perlu diverifikasi dan dibuktikan secara mendetail kepada masyarakat.

“Legislatif dan eksekutif harus mampu memberikan bukti kepada masyarakat,” tegasnya.

Mengenai fiktif atau tidaknya laporan yang dimaksud DPRD itu, menurut Risani itu adalah masalah teknis yang memiliki standar tertentu dalam penggunaan, pengelolaan dan pembukuannya.

“Saya melihat kelemahan SDM dari Pemkot dimanfaatkan legislatif,” kata Risani.

Sementara itu ketua LPM Cimanggis Yasin Bia menegaskan bila memang benar ditemukan indikasi laporan fiktif APBD, ini harus di laporkan kepada pihak yang berwajib seperti KPK, Kejari untuk di tindak lanjuti dengan membawa bukti-bukti yang akurat

“Mungkin anggota dewan hanya untuk mencari nama popularitas menjelang pemilu 2009 mendatang,” katanya dengan singkat.(mr/m-10)

Januari 2008

Risani: Pemkot kurang peduli

Monitor Depok, 7 Januari 2008

LIMO, MONDE: Ketua LPM Kecamatan Limo, Risani Patisahusiwa menyayangkan kurangnya perhatian Pemkot Depok terhadap sejumlah jalan rusak di Kecamatan Limognya terdapat logo pemkot.
“Berkali-kali kami [pihak LPM Kecamatan Limo] meminta agar Dinas PU turun ke lapangan, tapi tidak juga ada responnya,” kata Risani.

Dikatakannya, sejumlah titik jalan di Kecamatan Limo, terutama di akses Jalan Meruyung-Limo-Cinere sudah rusak parah dan cenderung membahayakan keselamatan pengguna jalan. “Kemacetan pun menjadi imbas berikutnya dari keadaan tersebut,” ujar Risani.

Sejumlah pengerjaan pembenahan jalan yang sudah dilakukan Pemkot maupun para pengembang dikatakan Risani cenderung dilaksanakan atas dasar lepas tugas saja. “Bagaimana hasil maupun apa yang terjadi setelah pembenahan itu, Pemkot cenderung kurang mau tahu,” katanya.

Bahkan ditambahkannya, setelah melakukan betonisasi, pihak pengembang dengan berbagai alasan kemudian meninggalkan pengerjaan, dan tidak mau tahu dengan drainase-nya. “Kalau sudah begitu, sulit dicari siapa yang mau bertanggung jawab, Pemkot atau pengembangnya langsung,” lanjut Risani.(mr)

Pemekaran kecamatan 2009. ‘Ada apa, perlu diwaspadai…’

Monitor Depok, 7-Jan-2008

TUGU, MONDE: Penundaan pemekaran wilayah selayaknya diwaspadai, mengingat landasan yuridis dan finansial sudah cukup memadai.

Implikasinya, elemen warga Depok dapat berbalik mencurigai adanya agenda terselubung (hidden agenda) yang berpeluang merugikan rakyat.

Fungsionaris Front Pembela Merah Putih Depok, Junaidi Sitorus, tokoh masyarakat dan Ketua LPM Cimanggis, Yasin Bia, serta Ketua LPM Kecamatan Beji Cecep Iskandar, mengisyaratakan hal itu, kemarin.

“Tentu ini tak benar, masak saat persiapan elit maunya dipercepat, tiba-tiba saat semuanya relatif sudah siap justru ditunda,” kata Junaidi, bernada mempertanyakan.

Tak kalah keras, Yasin justru mempertanyakan kini apa maunya elit Depok, dengan penundaan itu. “Apa ini tak membuat rakyat curiga, benar ada apa-apa di balik penundaan pemekaran,” tandas Yasin.

Realitas ini, menurut Junaidi dan Yasin, layak ditanggapi serius seluruh elemen Depok, karena ini semua menyangkut fungsi layanan, padahal semua tahu kalangan elit saat persiapan mau disegerakan. “Eh, sudah ada Perdanya, ada duitnya, mereka justru ramai-ramai ingin menunda, tercantum secara yuridis dalam Perda lagi,” tandas Yasin.

Rencana pemekaran enam kecamatan di Depok menjadi 11 kecamatan bakal dilaksanakan tahun 2009, meski Perda tentang masalah itu sudah disahkan…

Saat menjawab pertanyaan pers, Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kota Depok, Hamid Wijaya, mengatakan penundaan ini karena prasarana belum memadai.

Pemkot sendiri, kata alumnus IPB ini, sudah menyiapkan anggaran Rp2 miliar untuk sewa gedung kecamatan dan infrastruktur lainnya, mengingat secara historis pemekaran ini sudah diamanatkan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Hingga, katanya, rencana pemekaran itu sepatutnya dilaksanakan secepatnya karena kebutuhan yang sangat mendesak.

Anggota legislatif Wahyudi dan Babai Suhaimi mengisyaratkan penundaan itu implikasi dari persiapan fasilitas pendukungnya, meski keduanya mengakui faktor politis ikut mempengaruhinya—misalnya bakal adanya Pilgub Jabar 2008. (Monde, 4 Januari).

Kalangan stakeholders Depok, di luar eksekutif dan legislatif seperti antropolog UI Fikarwin dan aktivis LSM Wahidah R Bulan dan Ketua PKB Depok M Fuad, menilai penundaan pemekaran tetap memiliki agenda setting politik tertentu.

Bahkan, penundaan ini, menurut mereka, telah memiliki implikasi pengabaian layanan publik… Mereka justru menyayangkannya bila ditunda—lantaran warga memang ingin pemekaran agar layanan lebih baik.

Dalam wacana tahun lalu, baik eksekutif, legislatif dan LSM, menyebutkan pemekaran kecamatan perlu disegerakan, dan ditargetkan 2008 bisa dikelarkan.

Tapi Rintisyanto (Fraksi Partai Demokrat dan Kuat S (Fraksi PKS), anggota legislatif lainnya, justru menyebutkan penundaan itu bukan lantaran Dewan, yang tak pernah menunda rencana pemekaran itu. Keduanya mengatakan Perda mengamanatkan pemekaran 2009, sementara 2008 untuk sosialisasi pemekaran itu (Monde, 4 Januari).

Perda pemekaran merupakan produk hukum hasil pembahasan Pemda dan DPRD Depok.

Malah sejumlah tokoh masyarakat, seperti Risani dari Limo dan Abdul Haris dari Sukmajaya dan tokoh lainnya, menganggap penundaan ini menunjukkan elit Depok tak becus dan serius menyerap aspirasi publik.

Agung Witjaksono, Wakil Ketua DPRD Depok, meminta semua pihak mencermati semua aspek terkait pemekaran, termasuk anggaran yang terkait APBD—mengingat selama dalam dua tahun ini layanan publik terkait infrastruktur Depok justru terbengkalai (Monde, 5 Januari).

Merujuk polemik yang sudah berkembang di media massa, Yasin dan Junaidi sulit bisa menerima alasan penundaan pemekaran itu begitu saja.

Hal ini, menurut mereka, seperti mempermainkan warga Depok yang membutuhkannya, seperti misalnya, warga di Cimanggis dan Sawangan yang jumlah penduduk dan wilayahnya amat luas.

Warga kedua wilayah itu, tambah Yasin dan Junaidi, mencatat semua wacana eksekutif dan legislatif jauh hari sebelumnya, bahwa pemekaran mesti dipercepat. Oleh karena itu, kata mereka, tak perlu ada soal lagi, atau justru dipersulit lagi.

“Lho sewa bisa, memang kenapa, toh, masih ada kantor Pemkot yang menyewa…” tambah Junaidi.

Oleh karena itu, timpal Yasin, kondisi penundaan ini menjadi pertanyaan dan duga-duga sejumlah elemen warga di Cimanggis, hingga mereka pun malah curiga terhadap kalangan elit.

Sebab, katanya, selama ini di aula Kecamatan Cimanggis dan Sawangan, misalnya, sering ide pemekaran ini digembar-gemborkan untuk lebih melayani dan mensejahterakan.

Elemen warga pun, menurut dia, tentu mencatatnya, tapi kenyataannya mundur lagi.

“Ini kan tidak baik. Tapi benar-benar bikin warga curiga,” katanya—yang disebutkannya akibat penundaan ini juga tetap berkonsekuensi terhadap pemakaian dana APBD, seperti survei lahan, kunjungan eksekutif dan legislatif ke lokasi pemekaran dan lain sebagainya. ”Coba lihat saja nanti…”

Nyaris sama dengan yang lainnya, Ketua LPM Kecamatan Beji Cecep Iskandar, mengatakan meski Beji tak termasuk dalam rencana pemekaran, namun ia melihat pemekaran itu itu sudah mendesak.

“Saat ini yang wilayahnya luas, kan, pembangunannya tak merata,” katanya. Oleh karena itu, katanya, penyelenggara roda pemerintahan, termasuk kalangan elit lainnya, diminta tak main-main dengan rencana.(ys/wen)

DPRD: Pemekaran perlu lihat semua aspek

‘Bukti elit Depok tak becus…’

Monitor Depok, 5  Januari 2008

DEPOK RAYA, MONDE: Penundaan pemekaran kecamatan di Kota Depok bisa berdampak berkurangnya kepercayaan masyarakat (publik) terhadap elit Depok, baik di legislatif dan eksekutif.

Penundaan itu dinilai sebagai indikator lemahnya kinerja eksekutif dan legislatif terhadap pemenuhan kepentingan publik—di tengah sinyalemen kuat bahwa ini kuat nuansa politisnya.

Ketua LPM tingkat Kecamatan Limo, Risani, Ketua LPM Cimpaeun H Muhtar, Ketua LPM Harjamukti Hapman Sitorus, Ketua LPM Kecamatan Sukmajaya, Abdul Haris, mengatakan hal itu secara terpisah kemarin.

Mereka diminta Monde menanggapi kebijakan pemekaran kecamatan di Depok yang baru dilaksanakan 2009-sesuai amanat Perda.

“Ini bukti baru kerja eksekutif dan legislatif tak becus,” kata Ketua LPM Tingkat Kecamatan Limo, Risani. “Setelah diagendakan, kemudian diundur. Jangan permainkan kepentingan publik dong. Wacananya harus jelas. Atau tidak usah aja sekalian,” kata Risani bernada tinggi.

Tak bisa dibodohi

Adanya dugaan kepentingan politis, katanya, kian membuka mata publik dalam menilai eksekutif dan legislatif. “Warga sekarang sudah tidak bisa dibodoh-bodohi lagi,” kata Risani.

Ketua LPM Cimpaeun H Muhtar malah mempertanyakan, mengapa pemekaran ini justru mundur, tak seperti diwacanakan dan direncanakan sebelumnya.

“Segala sesuatu perlu dipikirkan baik buruknya, namun jika sesuatu yang sudah direncanakan dengan matang tiba-tiba diundur tentunya menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat kepada elit,” katanya.

Muhtar berharap pengunduran ini jangan memunculkan ketidakpastian. “Semoga saja itu keputusan yang terbaik, “ katanya.

Ketua LPM Harjamukti Hapman Sitorus justru heran kenapa alasan politis dikedepankan, bukan kepentingan publik.

“Semestinya layanan publik dikedepankan, sudah mendesak…Pemekaran lebih cepat, lebih baik ” tandasnya.

Cimanggis memiliki luas wilayah sekitar 5.111.596 ha. Tahun 2006 jumlah penduduk Depok telah mencapai 1,3 juta jiwa [kini menurut Bapeda 1,4 juta jiwa]. Cimanggis sendiri menyumbang 331.778 jiwa.

Dampak negatif

Tokoh masyarakat Jatijajar Usup Subekti menyataan penundaan ini bisa berdampak negatif. “Banyak masyarakat Cimanggis yang sudah tahu wilayah ini akan dimekarkan dan mereka sangat berharap agar pelayanan lebih maksimal,” katanya.

Pemekaran wilayah, katanya, pembangunan wilayah bisa lebih fokus dan terkonsep.

Diundurnya pemekaran kecamatan juga mendapat tanggapan dari Ketua LPM Kecamatan Sukmajaya, Abdul Haris. Menurut dia, pemekaran kecamatan sebenarnya berpotensi menambah lapangan pekerjaan di Depok.

Setiap tahun, menurut dia, jumlah penduduk Depok semakin bertambah. ”Dengan adanya pemekaran kecamatan, jelas bahwa pelayanan kepada masyarakat akan semakin optimal. Selain akan menambah lapangan pekerjaan baru dan bisa menyerap tenaga kerja,” jelasnya.

Namun Haris juga memahami bahwa untuk dilakukannya pemekaran, tentu harus disiapkan berbagai infrastruktur penunjang. “Kalau pemekaran dilakukan, semuanya harus sudah siap. Jangan sampai pemekaran malah menghambat pelayanan kepada masyarakat karena infrastruktur yang belum siap,” katanya.

Namun dia juga mengharapkan agar pemekaran ini bisa secepatnya dilakukan, karena menutur Haris, pemekaran kecamatan adalah hal mutlak yang harus segera dilakukan di Depok.

“Dengan diundurnya pelaksanaan pemekaran wilayah Cimanggis akan membuat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah Kota Depok semakin berkurang sebab rencana pemekaran ini sudah bukan rahasia lagi, sudah dipublikasikan ke masyarakat, dan banyak masyarakat sudah banyak yang tahu,” ungkap salah satu tokoh pemuda di Jatijajar Nuryadi yang juga pengurus Pemuda Pancasila Cimanggis.

Tak setuju diundur

Secara pribadi, dirinya tidak setuju dengan diundurnya pelaksanaan pemekaran ini Namun, dirinya menyadari bahwa untuk pemekaran wilayah kecamatan diperlukan kesiapan dari pemerintah dan masyarakat yang akan dipecah.

Dia berharap pada akhirnya pemekaran akan memiliki dampak yang lebih baik bagi wilayah yaitu meratanya pembangunan, peningkatan perekonomian masyarakat, serta terciptanya kemananan, ketertiban, dan kesejahteraan masyarakat.

“Untuk itu pemerintah harus lebih memperhatikan berbagai aspek mulai dari kebutuhan masyarakat, kemiskinan, pembangunan dan perbaikan sarana jalan, serta sarana ibadah yang kurang layak.”

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua LPM Pengasinan Selih Kubil selama ini wilayah di beberapa kecamatan sangat luas sehingga tidak efektif. “Kan kasian warga yang jauh dari kecamatan apabila ingin mengurus administrasi dan segala sesuat,” papar Kubil.

Pemekaran, katanya, diyakini bisa memaksimalkan layanan publik. Oleh karena itu, katanya, perlu segara dilakukan.”Pemantauan pelaksanaan pembangunan bisa lebih baik, bila dibandingkan dengan wilayah yang luas.”

Selama ini, katanya, ide pemekaran terus disosialisasikan Pemkot, bahkan dikatakan segera, tapi kenyataannya Perda menyebutkan tahun 2009.

Terpisah, beberapa warga mengatakan pemekaran kecamatan seyogianya cepat direalisasikan karena itu sudah merupakan kebutuhan, bukan kepentingan elit yang justru dikedepankan.

“Kita sih pengennya itu segera terwujud, karena juga kan kita jadi dekat kalau mau ngurus apa-apa,” kata Arif, warga Gandul. Kini, persoalannya, menurut dia, apakah Pemkot sudah siap.

“Kalau memang masih berat, ya, tak apa-apa bertahap,” tandasnya.

Warga lainnya, Ipong, juga menuturkan hal yang sama. Intinya, katanya, kesiapan Pemkot juga perlu diperhatikan.

“Skala prioritas aja, soalnya kalau semuanya langsung juga nantinya bakalan repot, warga juga yang kena imbasnya, contohnya untuk persoalan administratif warga seperti KK , Akta dan KTP, semua kan mesti diurus ulang, jadi dilakukan bertahap dulu lah,” ucapnya.

Irfan, warga Tugu, mengatakan tampaknya elit lupa, bahwa saat pemekaran direncanakan, mereka getol sesegera mungkin dilakukan, bahkan saat itu diancang-ancang 2008 sudah beres, tinggal menunggu Perdanya disahkan.

“Jangan mau duit Pansusnya aja, memangnya ucapan elit mudah kami lupakan,” kata Irfan, seraya menyesalkan Perda sudah disahkan, tapi realisasinya ditunda.

Sulit bentuk Polres

Menanggapi suara sejumlah elemen Depok, Wakil Ketua DPRD Depok Agung Witjaksono, mengimbau masyarakat dan stakeholders Depok memahami pemekaran ini dengan melihat sejumlah aspek lebih dulu, sehingga bisa diperoleh gambaran utuh dan kondisi riil yang dihadapi Depok secara keseluruhan. Pertama, menurut Ketua DPD Partai Demokrat Depok itu, jangan dilihat secara spasial, tapi perlu dicermati dari sisi APBD secara keseluruhan, karena semuanya menyangkut anggaran.

Kedua, katanya, perlu dikaji derajat urgensinya, yang utama saat ini layanan publik tak terabaikan, mengingat saat ini sudah dua tahun layanan publik di sektor infrastruktur masih terbengkalai.

Ketiga, menurut Wakil Ketua DPRD, terkait pemekaran kecamatan ini sama sekali tak terkait agenda politik tertentu. “Menurut saya, malah lebih mudah membikin PAC, pengurus parpol kecamatan, dibanding membentuk Polsek, Koramil, KUA dan lainnya,” katanya.

Keempat, katanya, persiapan SDM guna mendukung pemekaran itu, jelas memerlukan waktu. “Sedangkan kita saat ini juga perlu fokus SDM untuk RSUD Depok, dinas-dinas dan lainnya,” tandasnya.

Secara umum, Agung menyatakan pelaksanaan pemekaran kecamatan 2009, sebagai langkah yang lebih baik, lantaran semuanya bisa dipersiapkan lebih matang dan akurat, sehingga saat operasional bisa lebih baik.(m-9/m-5/mr/why/mas/ys)

November 2007

LPM Limo: Pembangunan tidak merata…

Monitor Depok, 19-Nov-2007

LIMO, MONDE: Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kecamatan Limo, Risani Patisahusiwa menilai pembangunan sejumlah infrastruktur di Depok, khususnya di wilayah Kecamatan Limo tidak adil. Pasalnya, dari sejumlah tender proyek pembangunan tersebut mayoritas didapat pengusaha-kontraktor luar Depok.

“Apalagi di Limo. Tak ada satupun pengusaha-kontraktor Limo yang kebagian tender. Ini menyangkut masalah penguatan ekonomi masyarakat,” katanya.

Menurutnya, betul bahwa perihal pengadaan barang dan jasa sudah diatur dalam Kepres No 18. “Tapi didalam UU No.20 kan disebutkan pimpinan wilayah punya kebijakan tersendiri mengatur pembangunan di daerahnya.”

Dengan dasar itu. kata dia, sudah selayaknya kontraktor lokal yang menangani proyek-proyek di lokal. Dengan begitu, kontribusinya akan nampak. Minimal tenaga kerja akan diambil dari wilayah sendiri. “Pembangunan itu bukannya dari, oleh dan untuk rakyat,” tegasnya.

Selain itu, dia juga mengkhawatirkan keseriusan dan kesungguhan si empunya proyek-kontraktor pelaksana pembangunan dalam bekerja. “Logikanya, jika masyarakat di lingkungan tersebut, yang mengerjakan proses pembangunan, otomatis rasa peduli dan keinginan untuk betul-betul mengerjakan proyek semaksimal mungkin itu ada. Tapi kalau orang dari luar belum tentu,” ujarnya.

Tidak sampai di situ. Para kontraktor atau pun pengawas dari Dinas PU juga didapatinya jarang berada di tempat. “Hal ini membuktikan ketidakseriusan itu. Tahunya laporan beres,” cetusnya.

Dijelaskannya, hal tersebut sekaligus memperlihatkan bahwa pimpinan di Kota Depok ini kurang peka terhadap kebutuhan rakyat. “Pimpinan itukan dipilih oleh rakyat, untuk menyejahterakan rakyat. Tapi kenapa kue pembangunannya tidak dibagi rata dengan masyarakat Depok…” demikian Risani.(m-3)

Lagi soal baliho kontroversial

Kok, pejabat jadi tambah lucu…

Monitor Depok, 5 November 2007

Tak hanya kalangan elit dan legislatif angkat bicara.

Baliho kontroversial—ajakan makan dengan tangan kanan, di lampu merah eks Ramanda, pun mengundang kalangan masyarakat akar rumput di Depok menyorotinya…

Mereka pun menggunjingkannya, lantaran adanya baliho ironis itu, membawa kalangan warga bertanya-tanya…

“Kayaknya ada yang nggak beres di tubuh Pemkot,” kata Rianti, eksekutif swasta di Jakarta yang warga Beji, spontan kepada Monde, seraya memberi isyarat tertentu.

Dika, warga Panmas, pun mengisyaratkan hal serupa. “Kayaknya ada yang salah di Pemkot, terutama terkait dengan proyek baliho… “ kata Dika, saat menghadiri pesta perkawinan Reporter Monde, di Gedung MUI, kemarin.

Semakin lucu

Keduanya sepakat bahwa kontradiksi antara pesan kata dan visual itu seperti sinyal, tanda-tanda, atau perlambang—bahwa ada sesuatu yang tak lagi wajar di Balaikota…

Ketua LPM Kecamatan Limo, Risani Patisahusiwa menilai ajakan di baliho itu sebagai hal mubazir, dan tidak perlu. “Yang diinginkan warga Depok, bukan sekadar itu,” katanya.

Ia pun heran, kenapa Camat Limo, Yayan Arianto, ikut-ikutan pasang baliho ajakan makan seperti itu, dengan latar belakang Masjid Kubah Emas.

Melihat gambaran seperti itu, Risani mengilustrasikan bahwa pejabat Depok saat ini semakin lucu. “Kok, pejabat jadi tambah lucu. Kalau dipikir-pikir aneh kan? Untuk apa coba bikin imbauan yang kayak begitu. Pakai dipajang besar-besar di Margonda lagi. Pada pengen jadi artis kali ya…”katanya sambil ketawa.

Menurut dia, Pemkot akan mendapat dukungan warga, kalau misalnya memperbaiki jalan yang rusak di mana-mana. Atau, misalnya, program kepedulian terhadap warga miskin, dengan membuka lapangan kerja. “Depok kan banyak penganggur,” tandasnya.

Sejumlah orang dekat Pemkot berkilah bahwa gambar itu hanya memperlihatkan orang mengambil makanan pakai tangan kiri lantaran tangan kanan sedang memegang piring…

Tapi, pesan lewat gambar ke publik, dengan visualisasi semacam itu selayaknya dipertimbangkan masak-masak. Sebab, bisa mengundang interprestasi dan persoalan baru…

Apalagi, biaya baliho itu boleh jadi memakai uang Pemkot yang notabene uang rakyat. Atau, pakai biaya sumbangan orang lain (dana mandatory), lantaran orang itu mendapatkan kemudahan dari Pemkot.

Semua yang kelihatan itu, menurut Dika, yang masih berstatus mahasiswa di BSI, adalah menunjukkan celah kelemahan Pemkot. Boleh jadi, katanya, dalam seleksi penentuan pembuat baliho. Atau, katanya, pasca pembuatan baliho tanpa ada koreksi lagi, hingga terjadilah hal itu…

Menurut keyakinan yang sudah mentradisi di kalangan masyarakat, apa yang terlihat selalu ada pesan besar di baliknya…

”Coba cek ke pemilik program itu, ke Infokom, apa sebenarnya yang terjadi?” kata warga di sebuah warung kopi.

Seperti pernah diingatkan nenek atau kakek dulu: “Jangan sepelekan yang kecil. Batu kecil bisa membikin (seseorang) tergelincir, jatuh…”

Dan, sudah jadi permakluman bersama, jika merujuk UUD 1945 dan aturan di bawahnya, siapapun stakeholders punya kewajiban memberi solusi terkait kebijakan publik, asal semua demi tujuan yang apik…(Wenri Wanhar)

Oktober 2007

LPM Limo: Pemkot tak bergigi & nyali

Tim penataan: Penggarap lahan itu ilegal…

Monitor Depok, 9 Oktober 2007

LIMO, MONDE: Pemkot Depok dinilai tidak punya gigi dan nyali menghadapi Megapolitan Group, dalam kaitan pemanfaatan aset negara (lahan eks HGB Megapolitan), di tengah kekhawatiran warga bakal terjadinya konflik antara dua tim pengaman di lokasi itu.

Ketua LPM Limo Risani Pattisahusiwa mengatakan hal itu kepada Monde di Limo, kemarin. Ia menyebutkan Pemkot, sebagai regulator dan fasilitator, seperti tak memiliki wibawa dan otoritas. “Pemkot Depok ompong,” lanjut Risani keras.

Bagaimana mungkin, katanya, Pemkot yang punya legalitas dan legitimasi bisa ciut menghadapi swasta, Megapolitan Group. Kenyataan ini, menurut dia, bisa membikin publik kesal.

Warga kecewa

Sejumlah warga Limo melalui SMS ke Monde terkait Megapolitan, mengatakan bahwa Pemkot Depok itu amat berani dengan orang kecil dan tak berdaya, tapi sebaliknya mereka melempem menghadapi orang berkuasa dan berdana.

Realitas ini, menurut SMS warga itu, bisa memicu warga menyimpan akumulasi kekecewaan kepada pemkot dan kalangan elit, kemudian mereka akan mencari saat tepat untuk memunculkan ekspresi kekecewaan itu.

Oleh karena itu, Risani meminta sekali lagi kepada Pemkot untuk bersikap tegas terhadap siapa saja, yang diduga tak mematuhi aturan main yang berlaku di kota ini, termasuk terkait dengan persoalan eks HGB Megapolitan.

Dikatakan Risani, di lahan eks HGB No 9 di lingkungan RT 04/09 Kelurahan Limo, kini ada dua tim berseragam dari dua kubu yang berbeda kepentingan. Hadirnya dua tim pengaman ini diduga bisa memicu konflik fisik.

Anehnya, menurut dia, Pemkot tak berbuat banyak untuk mengatasi potensi kerawanan ini. “Tim penataan kemana?” Malah Ketua LPM itu menduga tim justru mendapatkan insentif atau fasilitas.

Ia menyayangkan situasi ini. Justru dia pun khawatir, Pemkot baru bersikap setelah ada perkelahian, baku pukul atau adu fisik antar dua tim pengaman. “Coba lihat, lahan itu dijaga dua tim berseragam. Risikonya, kalau terjadi bentrok pasti orang kampung yang jadi korban,” kata Risani.

Untuk sekolah

Megapolitan, menurut dugaan Risani, memasang pasukan tim pengaman lantaran ingin mendapatkan perpanjangan konsesi pemakaian lahan tersebut, meski HGB lahan itu sudah habis 1997.

Bila Pemkot peduli dengan kepedulian publik atau rakyat, menurut dia, semestinya justru lahan itu bisa dipakai misalnya untuk membangun sekolah, sarana olahraga atau fasilitas umum yang berguna bagi masyarakat luas di eks lahan HGB Megapolitan.

Dirinya semakin curiga adanya permainan, katanya, lantaran saat mantan dan Camat Limo sudah bersuara tentang kebenaran terkait aset negara itu, tiba-tiba ada tekanan dari internal Pemkot Depok, agar mereka tak bersuara. Bahkan terakhir, Camat LimoYayan mendapatkan somasi dari Megapolitan.

Oleh karena itu, katanya, dugaan permainan terkait lahan eks HGB Megapolitan semakin kencang. “Ada apa ini. Apa perlu KPK turun tangan ke Depok. Ini penting, supaya aset negara tak raib begitu saja. Hingga aset itu benar-benar bermanfaat bagi kepentingan orang banyak,” kata Risani.

Penggarap illegal

Sementara, Ketua Tim Penataan Lahan Sks HGB Megapolitan, Bambang Wahyudi yang juga menjabat sebagai Asisten Tata Praja Kota Depok, malah balik menuding para penggarap di lahan itu sebagai ilegal.

Mereka, katanya, tak memiliki status kepemilikan dan jual beli terkait lahan itu.

“Mereka (penggarap-red) tidak berhak atas lahan tersebut,” kata Bambang saat dihubungi Monde, kemarin.

Soal HGB, Bambang mengatakan bahwa tentang itu sudah habis masa berlakunya. Oleh karena itu, katanya, lahan itu adalah milik negara. Tapi, ia mengisyaratkan Megapolitan masih diberikan kesempatan perpanjangan.

“Mereka (Megapolitan-red) masih diberikan waktu untuk mengajukan permohonan perpanjangan HGB, tapi dalam proses perpanjangan ini syaratnya Megapolitan harus dapat menyelesaikan permasalahan dengan penggarap,” tutur juru bicara tim penataan lahan eks HGB Megapolitan itu.

Saat ditanya mengapa tim penataan tidak turun ke lapangan dalam mengatasi hal tersebut ia menyatakan tim penataan HGB hanya diberikan kewenangan dalam memfasilitasi persoalan tersebut.

“Kami hanya sebagai fasilitator, sifatnya hanya memberikan saran saja kepada Walikota khususnya dalam permasalahan ini, sedangkan untuk dasar hukum terhadap status tanah yang punya wewenang adalah pihak Badan Pertanahan nasional (BPN-red). Tapi sekarang terjadi tumpang tindih,” jelasnya.

Sementara itu, menanggapi adanya kemungkinan pemkot bermain untuk mendapatkan keuntungan finansial, Bambang membantahnya.

“Tidak ada itu yang namanya uang jatah buat kita, atau uang pelicin supaya masalah beres,” katanya menangkis dugaan Ketua LPM Limo.

Tapi rumor, yang berkembang Pemkot amat lunak terhadap Megapolitan, karena ada alas an itu? “Kalau ada, yah, alhamdullilah, tapi selama ini tidak ada. Mana bukti konkritnya,” kata Bambang lagi.

Apakah eks HGB Megapolitan itu tak sebaiknya dipakai sarana atau fasilitas umum? Bambang pun mengatakan Pemkot telah mengarahkan ke BPN, agar tanah itu ditata melalui system tanah perkotaan.

“Jadi lahan tersebut ditata, dibuat kavling-kavling, kemudian dimanfaatkan untuk sarana umum ataupun apapun bentuknya, yang di dalamnya terdapat fasos-fasum. Tapi semuanya tergantung BPN yang memilki wewenang untuk memberikan izin perpanjangan HGB tersebut, kami sudah mengarahkan kesana.”

Menanggapi adanya dua tim pengaman, masing-masing dari Megapolitan (Delta) dan Pemuda Panca Marga, Bambang menuturkan hal tersebut bukan urusan tim penataan dan yang berwenang untuk mengatasinya adalah pihak Kecamatan, dalam hal ini Camat Limo, Yayan Arianto.

“Kami nggak ada urusan dengan dua kubu pasukan tersebut, tugas kami hanya dalam pendataan, kalau tentang itu biar camat Limo aja yang mengatasi,” papar Bambang.(m-3/m-4/ys)

Mei 2006

Soal dana bencana puting beliung

LPM Limo diminta transparan

Monitor Depok 30 Mei 2006

LIMO, MONDE: Lembaga Pemberdyaan Masyarakat (LPM) Kecamatan Limo diminta menjelaskan soal penyaluran dana bantuan bagi korban bencana angin puting beliung di Kelurahan Grogol dan Krukut.

Pasalnya dalam penyalurannya tak melibatkan unsur LPM dan aparat kelurahan setempat. Selain itu, pertanggungjawabannya dinilai tak jelas sehingga ditenggarai sarat penyimpangan.

“Kami minta pihak LPM Kecamatan jelaskan secara transparan dana yang disalurkan ke warga,” tandas Sekretaris LPM Kelurahan Grogol Nur Ali kepada Monde, kemarin.

Sampai detik ini tak ada pemberitahuan secara rinci siapa saja warga yang memperoleh dan besarnya berapa. LPM tingkat kelurahan dan lurah sendiri, ujar dia, tak mengetahui lantaran tidak dilibatkan.

Disamping itu, sambung dia, ada sejumlah warga yang mengaku belum menerima bantuan padahal ikut menjadi korban bencana puting beliung.

Senada dikemukakan Zarkasih, mantan ketua LPM Kelurahan Krukut yang juga tak mengetahui secara rinci besarnya bantuan yang diterima warga.

“Saat saya masih menjabat, LPM mengusulkan bantuan ke Pemkot. Data-datanya diambil dari kelurahan, tapi tak tahu kelanjutannya,” ujarnya.

Belakangan hanya memperoleh informasi bahwa dana sudah turun dan telah disalurkan.

Kabag Kesra Pemkot Depok, Dudi Mi’raj saat dihubungi Monde kemarin, prihal dana bantuan puting beliung tak menjelaskan rinci besar dana yang dicairkan.

“Dananya sudah diberikan kepada LPM kecamatan,” katanya pendek.

Mengenai jumlahnya, dia tak menyebutkan secara pasti perlu di cek terlebih dahulu sebab bagian keuangan Pemkot Depok yang mencairkannya.

“Saya nggak tahu jumlahnya berapa, itu ada di bagian keuangan,” katanya.

Ketua PKA-LPM Kecamatan Limo Risani Pattisahussiswa membantah dia tak transparan soal penyaluran dana bantuan itu.

“Memang saya yang mencairkannya dari Pemkot. Jumlahnya Rp25 juta,” katanya.

Setelah uang itu cair, selanjutnya disalurkan ke para korban di Grogol dan Krukut sebesar Rp15 juta. Lantaran, sebelumnya dipotong Rp10 juta sebagai ganti uang talangan dana bantuan bagi para korban di Kelurahan Limo.

“Jadi yang diserahkan ke warga Krukut dan Grogol hanya Rp15 juta,” tandasnya.

Bukti pengambilannya masih ada, namun mengenai besaran bantuan yang diterima masing-masing warga, Risani mengatakan kurang tahu persis.

Alasannya dia tak menangani langsung sebab telah mempercayakan kepada pewakilan di masing-masing kelurahan.

0“Di Grogol ditangani P Nababan, di Krukut diserahkan pada Heri,” jelasnya.

Sejauh ini, sambung dia, belum memperoleh laporan lebih lanjut dari kedua orang tersebut.

P Nababan mengatakan dana sudah diserahkan kepada 10 kepala keluarga. Akan tetapi dia tak menyebutkan rinciannya sebab yang mengetahui lebih jauh adalah Ketua PKA-LPM Kecamatan Limo, Risani Pattisahussiswa.

Sementara itu, Heri yang juga pegawai Kelurahan Krukut mengakui dirinya diajak P. Nababan untuk menyerahkan dana bantuan ke warga. “Saya terima Rp6 juta, terus dibagikan sama warga,” ujarnya.(dmr)

April 2006

Ditagih lagi, dana bantuan lisus di Grogol & Krukut

Monitor Depok, 11 April 2006

LIMO, MONDE: Berkali-kali sudah ditanyakan, ternyata tak ada jawaban pasti bantuan dana puting beliung bagi warga Grogol dan Krukut.

Janji Pemkot Depok pun masih bak angin puting beliung (angin topan, atau lisus) bablas, tanpa jawaban jelas…

Gambaran itulah yang dialami warga Grogol dan Krukut yang menjadi korban puting beliung. Padahal warga Kelurahan Limo yang ditimpa musibah yang sama, telah memperoleh bantuan dari Pemkot Depok. Saat itu, Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail, menyerahkannya secara langsung.

“Saya jadi malu ditanyaiin warga melulu setiap kali ketemu,” kata Ketua FKA- LPM Limo Risani Pattisahussiwa, kemarin.

Persoalannya jadi merepotkan, lanjutnya, lantaran Pemkot sudah janji mau memberikan bantuan itu. “Tapi [kenyataannya] sampai saat ini belum turun juga,” tandas Risani.

Menurut dia, pihaknya sudah beberapa kali menanyakan ke Bagian Kesejahteraan Pemkot Depok, tapi selalu dijawab sedang diproses. Atau, berupa jawaban dalam waktu dekat bisa turun.

Tapi sampai kemarin, belum ada tanda-tandanya bantuan itu cair.

“Saya berulang kali menanyakan hal itu ke pemkot. Saya hanya bisa jawab ke warga, tunggu saja pasti dananya turun,” ujarnya.

Dia mengakui tidak mengetahui pasti penyebab terhambatnya dana bantuan itu. Atau, jangan-jangan dana itu sudah turun, tapi entah ke mana. “Persoalannya kalau diproses, masak butuh waktu begitu lama,” katanya mempertanyakan.

Realitas ini bisa merusak citra Pemkot, Walikota, Wakili Walikota dan pejabat di mata masyarakat.

Oleh karena itu, kata, Risani, pemkot harus menjelaskan rinci dan transparan mengapa dana itu telat turun.

Terpisah, Sekretaris Kelurahan Krukut Suparta Sarbih, mengaku hingga kini tak ada informasi mengenai dana bantuan pemkot itu.

“Kabarnya warga Krukut juga dapat bantuan. Terakhir diketahui sedang diproses,” jelasnya.

Suparta juga mengaku banyak warga bertanya kepadanya, tapi dirinya tak bisa menjawab, karene beleid itu ada di Pemkot.

“Saya hanya bisa minta warga sabar,” katanya.

Sebelumnya, Walikota menyerahkan bantuan puting beliung langsung kepada 14 KK di Kelurahan Limo, berupa uang Rp 10 juta dan beras 2 kuintal, 24 Februari 2006.

Laporan Kelurahan Grogol, menyebutkan 8 rumah rusak akibat diterjang puting beliung. Sedangkan di Krukut 15 rumah rusak. Kerusakan di Grogol dinilai cukup parah, kerugian diperkirakan Rp31 juta.(dmr)

Ide pejabat tinggal di Depok

‘Itu wacana lama’

Monitor Depok, 7 April 2006

PANMAS, MONDE: Perlunya Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail menggulirkan kebijakan terhadap aparat bawahannya agar bermukim di wilayah kerjanya juga disuarakan sejumlah tokoh masyarakat.

HW Santhoso, tokoh masyarakat Pancoran Mas, menilai gagasan tersebut sebenarnya sudah mengemuka sejak Walikota Depok dijabat Badrul Kamal. Namun [kala itu] hanya sebatas selentingan yang dilontarkan antar-warga.

“Karena yang ngomong-nya anggota DPRD (Babai Suhaemi—Red) gaungnya menjadi besar, apalagi terpublis di koran,” katanya kepada Monde, kemarin.

Menurut dia, memang seharusnya pejabat dan pegawai Pemkot bermukim di Depok. Apalagi cukup banyak pejabat Pemkot yang bermukim di luar kota ini, “Nggak perlu disebutkan, warga Depok pun sudah tahu kok.”

Namun yang paling dipersoalkan oleh Santhoso, banyaknya pegawai Pemkot yang lebih menyukai menggunakan bahasa Sunda di lingkungan kerjanya, “Ini kan Depok, bukannya Bogor atau Cianjur.”

Cinta Depok

Terpisah tokoh masyarakat Kecamatan Beji, Kipson B. Solid, menilai wacana perlunya pejabat Pemkot tinggal di Depok merupakan ide bagus meskipun digulirkannya agak terlambat.

“Sebagai warga pendatang yang sudah puluhan tahun, saya sangat merasakan sekali betahnya tinggal di Depok. Semakin lama bermukim, kecintaan saya terhadap kota ini malah semakin besar,” ungkapnya.

Kebanggaan serupa [cinta Depok], lanjutnya, seyogianya juga dirasakan oleh semua pejabat Pemkot. “Mustahil kebanggaan itu akan muncul dalam dirinya, bila Depok hanya sekadar dijadikan tempatnya bekerja.”

Paparan senada dilontarkan Yahman Setiawan, tokoh masyarakat Kecamatan Sukmajaya. Cinta pada Depok, menurut dia, menjadi wajib hukumnya bagi pejabat yang topoksinya selaku pelayan masyarakat.

Bahkan secara tegas dia mengatakan berhentikan saja pejabat Pemkot yang tidak memiliki kepedulian dan kebanggaan terhadap kota ini, “Pecat saja orang semacam itu. Yang gaji warga Depok, kok dia malah tinggalnya di luar Depok.”

Menurut dia, [secara ekonomi] berapa rupiah uangnya warga Depok yang dihabiskan oleh pejabat tersebut di tempat tinggalnya, “Dari jajan anaknya, biaya pendidikan anaknya, belanja isterinya hingga pajak rumah tinggalnya.”

“Coba kalo mereka tinggal di Depok, uangnya kan nggak terbuang sia-sia karena terserap untuk APBD Depok,” demikian Yahman.

Tokoh masyarakat Limo Risani Pattisahussiwa juga berujar “pejabat Depok tinggal di Depok, ya seharusnya begitu.”

Sebab, lanjutnya, ada sejumlah nilai positif seperti urusan kerja atau dinas bisa ditempuh dalam waktu singkat lantaran jaraknya dekat.

“Jika tinggal di Jakarta, dengan kemacetannya bagaimana jadinya bila datang terlambat terutama kalau ada kegiatan mendadak.”

Secara moral, demikian Risani, juga bisa menempatkan segala sesuatu secara semestinya dan proporsional.(amr/dmr)

DPRD akan inventarisasi, Banyak aset di Limo yang bermasalah

Monitor Depok, 6 April 2006

LIMO, MONDE: Pansus Aset DPRD Kota Depok akan melakukan inventarisasi aset Kecamatan Limo yang diketahui banyak bermasalah sehingga jika tidak segera dibenahi kemungkinan besar hilang.

Untuk kegiatan tersebut, kemarin di Aula kecamatan setempat, Pansus Aset diantaranya Hasbullah, Zaenudin, Merlyn Agnes Pantau, Syuhada dan Naalih mengadakan pertemuan bersama Camat Limo Dani Kondani, seluruh lurah beserta LPM dan tokoh masyarakat guna memberikan masukan.

Hasbullah mengatakan pansus aset memiliki tugas melakukan inventarisasi aset pemkot beruap tanah, bangunan, kendaraan termasuk perlengkapan kantor sehingga jelas keberadaannya.

Sekaligus menginventarisasi masalah yang menyangkut aset tersebut.

“Memang dulu sudah ada serah terima dari Bodor ke Pemkot menyangkut tanah, gedung, kendaraan dan aset lainnya. Dalam perkembangannya secara fisik mungkin sudah dikuasai pemkot tapi secara kepemilikan belum semuanya,” jelas Hasbullah.

Saat ini, tim baru menyelesaikan inventarisasi aset di Kecamatan Sukmajaya, baru kemudian Limo dan menyusul kecamatan lainnya.

Pansus juga bekerja mendata jumlah pengembang di Limo. Tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa banyak pengembang yang sudah mengalokasikan lahan sebanyak 5 % dari yang dikuasainya untuk fasos-fasum.

Terungkap

Kemudian, untuk mengetahui apakah sudah ada serah terima fasos-fasum dari pengembang yang bersangkutan atau belum sama sekali sehingga DPRD dan pemkot bisa menindaklanjutinya.

Dari hasil pertemua terungkap aset di Limo yang meliputi kantor kelurahan, gedung sekolah beberapa diantaranya belum menjadi aset pemkot, masih atas nama pemilik lama atau belum penuh semuanya diserahkan.

Sejumlah sekolah yang dulunya dibangun melalui dana Impres diantaranya SDN Gandul 2, SDN Grogol 1 dan 2, SDN Limo 1,2 dan 3, SDN Cinere, deketahui belum jelas bukti kepemilikannya.

Ketua FKA-LPM Limo Risani Pattisahussiwa menyambut baik adanya penataan aset lantaran sebagai upaya penyelamatan.

“Saya berharap pansus aset bisa konsisten dalam bertugas sehinga tidak jatuh pada pihak yang salah dan tidak bertanggungjawab,” tegasnya.

Risani juga mengingatkan DPRD dan pemkot harus berkoordionasi dalam berkerja.(dmr)

Januari 2006

Aparat didesak usut kasus Co-BILD

Tjahyo Moekmin laporkan Yusuf & Risani ke Polres Depok

Monitor Depok, 23 Januari 2006

MARGONDA, MONDE: Kasus pengelolaan dan penyaluran dana bantuan pembangunan bagi rakyat atau dana community building (Co-BILD/bukan Cobild) tahun 2002 senilai Rp1 miliar, nampaknya memasuki babak baru.

Sejumlah kalangan mendesak aparat penegak hukum untuk segera bertindak mengusut tuntas kasus Co-BILD hingga ke akar-akarnya. Kasus dana Co-BILD diyakini bakal melibatkan para elit yang masih menduduki jabatan di kota ini.

Anggota Komisi D DPRD Depok – yang membidangi masalah Kesra, Dedy Martoni, meminta aparat hukum di Kota Depok segera turun tangan dalam menyelesaikan kasus dana Co-BILD yang diduga macet.

“Untuk memenuhi rasa penasaran dan keadilan di tengah-tengah masyarakat, aparat hukum di kota ini [Kejaksaan dan Kepolisian], sepatutnya menyiasati perkembangan yang terjadi di masyarakat. Bila perlu usut kasus ini hingga tuntas,” ujar Dedy, dihubungi Monde, kemarin.

Pernyataan serupa dikemukakan Wakil Ketua Komisi D DPRD Depok, Ritandiyono. Dia berharap dana Co-BILD – yang dikelola Yayasan Forum Pengembang Pembangunan Perumahan Rakyat (YFP3R), dapat diselesaikan dengan baik, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat.

“Bagi mereka [KSM] yang belum mengembalikan pinjaman secepatnya menyelesaikan. Dan pengurus seyogianya bertanggungjawab terkait pengelolaan dan penyaluran dana tersebut,” ungkap Ritandiyono.

LSM Humanika Kota Depok mendesak pihak berwenang mengusut tuntas dugaan penyimpangan dana Co-BILD. “Kalau memang ada indikasi penyimpangan maka pihak berwenang harus mengusut tuntas,” tandas Sekjen LSM Humanika, Tri Joko Susilo, kemarin.

Hal ini agar kebenaran terungkap, mengingat masalah ini berdampak kepada masyarakat dan merupakan pertaruhan citra di mata pemberi bantuan.

Oleh karena itu, katanya, pengelola dana dan KSM selayaknya menjelaskan ke publik.

Berdasarkan dokumen yang berhasil diperoleh dari hasil investigasi Monde memaparkan adanya sejumlah dugaan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dan penyimpangan administrasi lainnya dalam pengelolaan dana Co-BILD.

Bahkan, Tim auditor independen atas dana Co-BILD yang dikelola YFP3R, Moores Rowland menyatakan, pengelolaan dan penyaluran dana Co-BILD senilai Rp1 miliar diyakini bermasalah dan terdapat banyak penyimpangan.

Sementara itu, Direktur Badan Pengelola Dana Co-BILD (BPDC) Tjahyo Adi Moekmin berjanji pihaknya akan mengembalikan dana Co-BILD senilai Rp1 miliar, pada akhir tahun 2006. Upaya itu dilakukan melalui pendekatan kekeluargaan dan jalur hukum.

“Insya Allah, akhir 2006 dana Co-BILD senilai Rp1 miliar akan kembali. Dari sejumlah KSM yang menunggak pinjaman dan telah kami laporkan ke polisi [4 KSM & 1 individu], akan kami upayakan kembali sekitar Rp200 juta,” katanya saat mendatangi redaksi Monde, kemarin. Ia pun menampik istilah memanas, lantaran itu hanya perdebatan atau adu argumentasi semata.

Menanggapi hasil temuan Tim auditor independen Moores Rowland, Tjahyo meragukan semua yang dipaparkan oleh auditor tersebut. “Hasil Tim auditor itu masih mentah,” tandasnya.

Mengenai nama Kabag Perekonomian Zalfinus Irwan yang disebut-sebut bertanggung jawab atas dana Co-BILD tersebut, Tjahyo menjelaskan, posisi Zalfinus hanya sebagai saksi karena menduduki LPD (Local Project Director) Co-BILD Depok.

Menurut dia, penanggung jawab YFP3R adalah dirinya selaku pengusul, Helmi H. Naz selaku Ketua Pengurus YFP3R (penandatangan cek pertama) dan Sutaryo Ketua Dewan Pembina YFP3R (penandatanganan cek kedua). “Sedangkan fungsi Zalfinus Irwan sebagai LPD, penandatangan cek ketiga, setelah cek ditandatangani oleh dua orang wakil dari YFP3R tersebut,” kata Tjahyo.

Saat ini tercatat dana yang telah digulirkan kepada 55 Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di Kota Depok dalam program Co-BILD mencapai Rp1,38 miliar. “Dana dari pusat hanya Rp1 miliar. Sisanya merupakan dana pengembalian dari KSM yang kami gulirkan lagi.”

Sedangkan per 15 Januari 2006, dana pengembalian yang masuk ke kas Bank Jabar Rp110 juta. Di antaranya berasal dari tiga KSM yang telah melunasi pinjamannya yaitu KSM Al-Misbah, KSM An-Nur dan KSM Khairunissa.

Sedangkan sisanya, 52 KSM lagi yang belum mengembalikan dana itu, “Dan itu semuanya bermasalah,” ungkap Tjahyo tanpa merinci nama-namanya, tapi sebagaimana dokumen yang diperlihatkan ke Monde sekilas, nama-nama itu cukup berpengaruh di Depok (Monde, 17 Januari 2006).

Perkembangan terakhir, Tjahyo melaporkan Risani P kepada Polres Depok terkait pernyataannya di Monde edisi Sabtu, 21 Januari 2006, yang menilai macetnya dana Co-BILD lantaran buruknya manajemen. Dengan Nomor Pol: LP/207/K/I/2006/ Res Depok tertanggal 22 Januari 2006 dengan kasus penipuan dan penggelapan dana pinjaman dari YF3R.

Selain Risani, Tjahyo pun melaporkan Yusuf Trilis Hendra dan Bayu Aji lantaran dinilai melakukan pencemaran nama baik. Menurut Tjahyo, Yusuf dan Bayu memberikan rilis ke Monde tidak sesuai dengan fakta.

Menanggapi laporan itu, Risani mengatakan sebenarnya dirinya tidak bermaksud mempermasalahkan pihak pengelola yayasan sebagai penyebab macetnya dana bantuan itu. “Saya hanya menilai lebih jauh pada sistem yang diterapkan, sehingga akhirnya dana tersebut macet,” kilahnya. Namun dia juga mengakui salah satu KSM yang juga bermasalah dalam pengembalian dana bantuan itu.(dmr/sb)

Dana Cobild macet karena pengelolaan buruk

Monitor Depok, 22 Januari 2006

LIMO, MONDE: Ketua Forum Komunikasi Asosiasi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (FKA-LPM) Kecamatan Limo Risani Pattisahussiwa menilai macetnya dana bantuan pembangunan perumahan bagi rakyat miskin atau dana community building (Cobild) tahun 2002 lantaran buruknya manajemen pengelolaan dana tersebut.

“Lebih jauhnya saya kurang begitu tahu karena sudah lama terjadi. Tapi yang jelas macetnya dana tersebut lantaran manajemen pengelolaan yang buruk,” ungkapnya.

Dia menyebutkan sejumlah kelompok swadaya masyarakat (KSM) di Limo juga mengalami kemacetan dalam pengembalian dana. Namun tidak mengetahui dengan pasti hanya mengatakan ada sekitar 3 KSM.

Risani menjelaskan tidak bisa mempersalahkan begitu saja tampa alasan yang kuat baik pihak pengelola cobild maupun KSM yang menerima dana bantuan tersebut sehingga macet dan tidak jelas bentuk pertanggungjawabannya.

Lebih jauh dikibatkan sistem penanganan sekaligus pengawasannya yang tidak diatur dengan jelas. “Dana bergulir begitu saja dari pusat, sementara tidak didukung dengan kajian kapabilitas si penerima bantuan apakah mampu atau layak tidaknya mengelola dana itu,” papar Risani.

Dia mengaku pada saat itu tidak berperan jauh soal pemanfaatan dan yang dikucurkan Depkimraswil tahun 2002 bagi Kota Depok senilai Rp 1miliar itu.

“Saat itu semua LSM termasuk LPM diundang soal perguliran dana bagi pembangunan rumah miskin oleh YFP3R,” katanya.

Tidak adanya sistem pengawasan yang jelas juga sebagai pemicu, selain faktor rendahnya mutu sumber daya manusia di KSM dalam pengelolaan dananya.

Ditambah lagi kurangnya koordinasi antara pihak pengelola dana cobild dalam hal ini Dinas PMK Depok dengan pengurus KSM mengenai perkembangan dana bantuan yang diterimanya.(dmr)

Kubu Yuspo: MK tak pengaruhi putusan MA

Monitor epok, 20 Januari 2006

DEPOK RAYA, MONDE: Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memiliki implikasi hukum dan tidak dapat membatalkan putusan MA yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali KPUD Depok, karena putusan MA itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Demikian disampaikan Benhard, Direk-tur Eksekutif The Yuspo Institute menyikapi perspektif hukum bahwa upaya hukum yang dilakukan oleh Badrul Kamal-Syihabudin Ahmad ke MK untuk melakukan pengujian materi atas UU No. 32 tahun 2004, pasal 106, ayat 7 tentang Putusan Pengadilan Tinggi yang bersifat final dan mengikat dan pengujian materi tentang kewenangan Lembaga Negara KPUD terkait dengan Pilkada langsung.

Menurut Benhard, sekalipun MK dalam amar putusannya nanti mengabulkan permohonan pengujian materi atas UU No.32/2004, namun tidak membatalkan MA).

“Kecuali pengujian materi atas Undang-undang itu dilakukan ketika MA masih memproses pemeriksaan permohonan PK KPUD Depok,” tandasnya.

Dia menegaskan, dikabulkannya permohonan uji materi tersebut, konsekuensi hukumnya terbatas pada perubahan atau amandemen atas pasal yang diuji materi.

“Lebih daripada itu persoalan uji materi yang diajukan kepada MK dengan AM yang mengabulkan Permohonan PK KPUD Depok adalah dua hal yang berbeda. Oleh karenanya putusan MA sudah final,’ jelasnya.

Dia menambahkan, upaya hukum yang dilakukan oleh BK-SA ke MK tentang uji materi atas pasal 106, ayat 7, termasuk istilah Mahkamah Agung memberikan kewenangan mandat kepada Pengadilan Tinggi” adalah merupakan pembelajaran bagi semua pihak.

Dikritik

Tokoh masyarakat Limo Risani Pattisahussiwa menilai Mendagri M. Ma’ruf bersikap arogan dalam menyikapi Pilkada Depok, terkait pelantikan pasangan Nur Mahmudi Ismail dan Yuyun Wirasaputra.

“Saya pikir Mendagri terlalu arogan dengan merekomendasikan pelantikan Nur-Yuyun padahal proses hukum uji materi putusan MA masih berlanjut,” ungkapnya kepada Monde, kemarin.

Menurut dia, beda halnya pasca putusan PT Jabar, Mendagri tidak banyak berkomentar malah terkesan memberikan kesempatan pada pihak Nur-Yuyun untuk mengajukan PK ke MA.

Dia mengakatan setelah putusan PT keluar, Mendagri terlihat vakum tidak ada desakan kepada KPUD Depok untuk melaksanakan sesuai dengan putusan PT Jabar mengusulkan pelantikan BK-SA.

“Mendagri tidak segera merekomendasikan pelantikan BK-SA sesuai hasil putusan PT Jabar. Jadi dimana posisi Mendagri dalam penegakan keadilan,” katanya menambahkan.(aks/dmr)

Tolak MA, 42 lurah dilaporkan ke Men-PAN

Monitor Depok, 4 Januari 2006

MARGONDA, MONDE : Sikap penolakan 42 lurah se-Depok atas putusan MA dengan mengirimkan surat kepada Presiden SBY berbuntut panjang. Koalisi Masyarakat Depok untuk Anti Korupsi (Komdak) melaporkan perbuatan itu kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.

Laporan itu dilakukan Komdak, kemarin mendatangi Kantor Kementerian PAN sekitar Pk. 14.00 dengan menyerahkan bukti berupa seberkas surat pernyataan sikap para lurah yang telah disampakan ke SBY pada Jum,at lalu.

Surat pengaduan Komdak itu bernomor Istimewa perihal laporan pengaduan itu berisi laporan adanya ketidaknetralan PNS Pejabat Lurah yang tergabung dalam Paguyuban Lurah Se-Kota Depok.

“Kami meminta dengan sangat kepada Men-PAN untuk mengambil tindakan tegas berupa pemecatan kepada aparatur daerah tersebut,” kata Roy Prygina, yang mengantarkan langsung surat itu ke Kantor Kementrian PAN, kemarin.

Para lurah itu dinilai Komdak telah melakukan pelanggaran terhadap UU No 43/1999, PP No 42/2000 dan Surat Edaran Men-PAN No 08/M.PANB/3/2005.

Komdak, kata dia, juga meminta Men-PAN memeriksa camat yang notabene atasan dari para lurah. “Karena kecil kemungkinan jika para camat tak mengetahui apa yang dilakukan lurah,” tegas Roy.

Wilayah politik

Laporan Komdak itu akan ditembuskan kepada Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua MA, Mendagri, Gubernur Jabar, Ketua DPRD Jabar, Ketua PT Jabar, Ketua KPUD Jabar, Pj Walikota Depok, Ketua DPRD Depok, Ketua KPUD Depok, camat se-Kota Depok.

Sementara itu, DPC PKS Sawangan mengecam Paguyuban Lurah.

“Tindakan itu mereka nilai sebagai pelanggaran terhadap undang-undang yang mengharuskan aparat birokrasi bersikap netral dan tidak masuk wilayah politik praktis meski mempunyai hak politik,” kata Ketua DPC PKS Kec. Sawangan Hidayat, lewat rilisnya yang diterima Monde, kemarin.

Dukung lurah

Sebaliknya, Mappan mendukung langkah paguyuban lurah yang menolak keputusan MA sebagai tindakan berani dan tegas dalam bersikap. Para lurah memiliki hak dan kebebasan menterjemahkan persoalan hukum.

“Terus terang kami mendukung upaya yang dilakukan paguyuban lurah yang menolak keputusan MA yang dinilai tidak konsisten,” tandas M. Nababan, Pengurus LSM Masyarakat Peduli Pembangunan (Mappan) Depok.

Sikap penolakan itu jangan diartikan sebatas ekpresi dukungan atau loyalitas terhadap seseorang, melainkan bentuk kebebasan berpendapat dan memilih pada era demokratisasi saat ini sehingga dinilai masih wajar.

Penolakan tersebut bukan tanpa alasan. dengan mengacu pada UU No. 32/2004, maka keputusan PT Jabar adalah final dan mengikat. Melangkah dari sinilah para lurah sepertinya ingin meletakan kepastian hukum yang justru tidak dijalankan oleh MA.

Senada dikemukakan Ketua FKA-LPM Kecamatan Limo Risani Pattisahussiwa menilai aksi penolakan para lurah terhadap putusan MA yang mengabulkan PK KPUD Depok adalah bentuk interpretasi dalam menyikapi satu persoalan hukum.(apk/aks/dmr)

Desember 2005

Pemkot diminta segera inventarisasi aset tanah

Monitor Depok, 28 Desember 2005

LIMO, MONDE: Pemkot diharapkan segera melakukan iventarisasi terhadap aset pertanahan di Depok terutama yang bermasalah karena dikhawatirkan hilang mengingat sejauh ini tidak ada data akurat jumlah aset pertanahan.

“Terkatung-katungnya kasus sengketa SMAN 6 Limo dan PT Sabar Ganda sebagai salah satu implikasi tidak tertatanya aset-aset milik negara,” ujar M. Nababan, tokoh masyarakat Limo, kemarin.

Menurut dia, di wilayah Limo masih banyak aset tanah milik pemkot yang tidak jelas, bahkan beberapa diantaranya menjadi pemicu konflik antara sejumlah pihak yang dikhawatirkan menyebabkan hilangnya aset tersebut.

Karena itu tak ada cara lain untuk menyelamatkan aset pertanahan melalui inventarisasi sehingga diketahui seberapa banyak tanah pemkot yang bisa dikuasai.

“Semestinya sejak dari dulu Pemkot Depok melakukan inventarisasi aset sebab di lapangan banyak muncul masalah.”

Sejauh ini, masyarakat tidak mengetahui berapa banyak aset Depok selepas dari pemerintahan Bogor. Akibatnya masyarakat juga sulit memanfaatkannya.

Inventarisasi terhambat

Penilaian senada disampaikan Ketua FKA-LPM Kecamatan Limo Risani Pattisahussiswa yang mendesak pemkot segera melaksanakan inventarisasi aset. “Tim aset agar segera bekerja dan koordinasi dengan eksekutif dan legislatif.”

Persoalannya, lanjut dia, selama ini ada kesan tidak harmonis diantara kedua belah pihak ini sehingga inventarisasi terhambat.

“Adakan musyarwarah untuk mempertegas langkah dalam pelaksanaannya sehingga aset-aset yang bermasalah bisa dituntaskan dan diselamatkan.”

Terkait masalah ini, anggota DPRD Depok Suhada mengatakan saat ini telah terbentuk Pansus Aset yang menangani ATK dan kendaraan bermotor, gedung serta tanah, bekerjasama dengan konsultan swasta. “Inventarissai ATK dan kendaraan bermotor di dinas-dinas sudah dilaksanakan.”

Sementara untuk pendataan aset pertanahan, lanjut dia, rencananya mulai pertengahan Januari 2006. “Petugas akan turun ke setiap kelurahan untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan,” demikian Suhada.(dmr)

Warga Limo bentuk forum

Pemkot diminta sosialisasi proyek Tol Desari ke warga


Monitor Depok, 15 Desember 2005

LIMO, MONDE: Pemkot Depok diminta segera melakukan sosialisasi ke masyarakat terkait rencana pembangunan proyek jalan tol Depok-Antasari (Desari) sepanjang 21,7 km senilai Rp2,25 triliun.

Sementara warga Limo berencana membentuk forum lintas jalan tol Desari untuk mewadahi aspirasi masyarakat sehingga tidak dirugikan baik secara materi maupun non materi terkait proyek itu.

Ketua Forum Komunikasi Asosiasi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (FKA-LPM) Kecamatan Limo Risani Pattisahussiwa mengatakan pembangunan tol Desari yang ditargetkan selesai 2007 tersebut, belum banyak diketahui masyarakat secara umum.

Hanya sebagian kecil warga yang sudah sejak lama mengetahui rencana meski belum tahu kepastian realisasinya.

“Akan tetapi beberapa hari ini, muncul pemberitaan di koran tentang kepastian pembangunan, bahkan pihak kecamatan pun sudah mensosialisasikan secara terbatas di lingkungan lurah, LPM dan tokoh masyarakat,” kata Risani, kemarin.

Mengingat realisasinya sudah di depan mata dan menyangkut banyak warga maka Pemkot Depok dinilai perlu secepatnya melakukan sosialisasi dan pendekatan ke masyarakat. “Sebab di lapangan banyak beredar informasi yang tidak jelas sumbernya.”

Hal senada diakui Sekretaris Kelurahan Krukut, Suparta Sarbih yang menyatakan pihaknya kerap mendapat pertanyaan dari masyarakat dan pihak lainnya tentang proyek tol Desari. “Saya nggak berani kasih komentar sebab belum ada instruksi dari sananya.”

Soal pendataan warga yang lahannya terkena proyek juga belum diketahuinya, meski pernah ada petugas yang mengaku dari Jakarta melakukan pengukuran dan mendata warga. Petugas tadi menyatakan untuk keperluan rencana pembangunan tol Desari.

“Tapi biasanya sebelum realisasi pasti ada sosialisasi dulu kepada warga termasuk Amdal dan ganti rugi. Kami hanya menungu informasi lebih lanjut saja,” tutur Suparta.

Bentuk forum

Risani menambahkan dalam waktu dekat warga Limo akan membentuk forum lintas jalan tol Depok-Antasari. Tujuannya untuk mewadahi dan menyalurkan aspirasi masyarakat sehingga hak-haknya tidak terabaikan atau dirugikan.

“Program ini memang proyek pemerintah tapi dilaksanakan melalui investasi swasta. Warga menyambut baik adanya tol, tetapi tidak ingin dirugikan pula. Artinya bisa memperoleh konpensasi ganti rugi yang layak,” tandasnya.

Menurut Risani saat ini mencari tempat tinggal sangat susah dan harganya mahal. Karena itu bagaimana agar proyek tetap berjalan tapi masyarakat tidak disulitkan mencari tempat tingal baru dan harga ganti rugi yang layak.

Selain itu, forum tadi untuk mempermudah koordinasi dan pendistribusian informasi serta melindungi warga dari tindakan pihak tertentu yang ingin mengambil untung misalnya para spekulan tanah.

Risani menyarankan agar Departemen PU melakukan koordinasi dengan Pemkot Depok agar tak terjadi mis-komunikasi.

“Semestinya pengusaha Depok pun turut andil karena lokasinya di Depok sebagai bentuk pemberdayaan. Tapi lantaran kurangnya bargaining, akibatnya orang pusat yang mendominasi.”(dmr)

November 2005

Dialog lintas agama

Aksi sosial jangan pakai simbol agama

Monitor Depok, 18 Desember 2005

LIMO, MONDE: Kegiatan sosial menyangkut antarumat beragama terlarang memakai simbol-simbol agama, sebagai upaya untuk menghindari konflik aktual berbau SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), karena sikap kecurigaan kalangan tertentu.

Selanjutnya setiap kegiatan atau aksi sosial, diwajibkan terkoordinasi dalam wadah Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB). Ini sebagai langkah untuk menghindari tidak dilaksanakannya aksi sosial diam-diam, karena bisa menimbulkan prasangka buruk.

Inti kesepakatan itu terungkap dalam dialog kerukunan beragama yang dilaksanakan di Aula Kecamatan Limo, kemarin. Dialog berlangsung dinamis, penuh keakraban—hingga ditemukan rumusan kemitraan antarumat beragama yang produktif.

Dialog antar umat yang baru kali pertama dilaksanakan itu memperoleh animo perhatian besar. Banyak pihak yang hadir.

Di dialog ini juga dibahas kasus paket sembako lebaran fiktif dengan mencatut nama sejumlah nama gereja.

Kasus ini sempat menghebohkan lantaran ratusan warga menjadi korbannya.

Dalam kesempatan dialog yang dipandu Camat Limo H. Dani Kondani, hadir Ketua DPW FPI Depok, Habib Idrus Alqadri, Ketua Forum Komunikasi Oikumene (FKO) Bonar Simangunsong, Ketua FKAUB Pendeta Johny Kintjem, Ketua MUI Limo Madani, Kapolsek Limo AKP Ade Rahmat Idnal, Danramil Limo Kapten Teguh Pambudi.

Selain itu, hadir delapan lurah se-kecamatan Limo, para ketua LPM, perwakilan dari Gereja GKI Cinere, KUA Limo, perwakilan Kesbang Linmas Pemkot Depok dan elemen sejumlah forum komunikasi lainnya.

Habib Idrus menilai pentingnya meningkatkan komunikasi dan koordinasi secara terbuka melalui wadah FKAUB untuk menjembatani perbedaan persepsi di antara berbagai umat beragama di Depok.

“Terpenting adalah memegang mekanisme dalam hubungan antar umat beragama yang telah disepakati bersama,” katanya. Menyangkut masalah saling membantu dalam koridor sosial, pada prinsipnya tidak keberatan, asalkan tidak dibubuhi dengan embel-embel simbol agama yang dicemaskan bisa memancing kecurigaan.

Menanggapi masalah ini, Ketua Forum Komunikasi Oikumene (FKO) Bonar Simangunsong memahami sikap FPI, bahkan pihaknya berkeinginan mengadakan komunikasi lebih intensif untuk memahami visi dan misi masing-masing.

Sampaikan aspirasi

“Kami akan menyampaikan aspirasi FPI kepada seluruh pengurus gereja agar memahaminya,” jelas Bonar.

Diharapkan dengan jalinan komunikasi yang terbuka, bisa diperoleh titik temu dan kesamaan persepsi dalam menyikapi persoalan keumatan, sehingga persoalan atau konflik yang berbau SARA bisa dihindari.

Sementara itu, Ketua MUI Limo Madani menuturkan tahun pertama terbentuknya FKAUB berjalan lancar dan bisa mengakomodasi semua aspirasi serta persoalan yang beredar di masyarakat.

Akan tetapi tahun-tahun berikutnya, dalam perkembangnya banyak mengalami pergeseran sejalan dengan munculnya berbagai kepentingan di dalamnya. Oleh kerena itu, kegiatan sosial antar agama harus bebas dari misi-misi tertentu.

Senada dikemukakan Ketua FKA LPM Limo Risani Pattisahussiwa memandang seluruh aktivitas antar umat beragama harus berjalan pada mekanisme yang berlaku seperti surat keputusan bersama (SKB).(dmr)

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.